Oleh: museumku | 28 Februari 2011

Bukan Pemandu Museum Biasa

republika.co.id, Minggu, 27 Februari 2011 – Museum dan pemandu museum selama ini kerap digambarkan sebagai sosok yang membosankan. Pemandu mengajak puluhan anak berkeliling museum, menggunakan pengeras suara untuk menjelaskan satu lukisan, atau arca, atau perabotan, atau sejarah benda, dengan singkat. Sementara sebagian besar anak-anak sibuk mengoceh di belakangnya, tidak memperhatikan apa yang ia sampaikan.

Sejarah yang seharusnya bisa digambarkan menarik dan heroik menjadi kering dan tidak hidup di mata anak-anak. Akibatnya, anak-anak menganggap kunjungan ke museum adalah sekadar jalan-jalan dan mencatat puluhan benda yang dipajang. Pulang dari museum, mereka langsung lupa apa saja cerita-cerita dari sana.

Komunitas Museum Ceria mencoba mendobrak citra ‘garing’ museum dan pemandu museum tersebut. Mereka membawa anak-anak sekolah dasar berkeliling museum dengan cara yang lebih kreatif dan dinamis. Berikut kisahnya:

Ajeng Arainikasih mengajak lima bocah berseragam batik biru duduk di lantai kayu yang dingin. Mereka berada di ruangan paling ujung di lantai dua Museum Fatahillah, Jakarta Barat, Kamis (17/2) siang. Udara di luar gedung panas menyengat. Beberapa anak tampak keringatan, tapi mereka antusias mendengarkan penjelasan dan aktif menjawab.

“Hayo mengapa Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro repot-repot menyerang Belanda hingga ke Batavia,” tanya Ajeng. Jawaban langsung berlontaran dari mulut mereka. Ada jawaban yang asal seperti, “Mmm …. Mereka ingin kaya Kak!” cetus seorang bocah perempuan. Ajeng tertawa mendengar jawaban itu.

“Mauu rusuuuh,” jawab seorang bocah perempuan lagi, yang berambut panjang.

“Gara-gara kerja paksa Kak!” timpal si bocah laki-laki. Ajeng lantas memberikan penjelasan dengan singkat kepada kelima bocah kelas 5 di salah satu sekolah dasar Islam di Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu. Mereka mengangguk-angguk. Beberapa mencatat di lembar kerja khusus yang dibagikan oleh Museum Ceria.

Di saat yang sama, di belakang mereka, puluhan anak sekolah dasar lainnya bergerombol di depan lukisan salah satu pembesar Batavia abad ke-17. Si pemandu yang sudah setengah baya, tampak kepayahan menerangkan sejarah lukisan itu. Suaranya tenggelam oleh ocehan dan teriakan puluhan anak. Tak sampai dua menit menerangkan, rombongan ‘ceriwis’ itu pindah lokasi ke ruang di sebelahnya.

Di ruang lain, di balkon lantai 2 museum, Anne Putri Yusiani, juga sedang duduk bersila di hadapan lima anak dari sekolah yang sama. Ia tengah menjelaskan soal halaman museum yang dulu kerap digunakan sebagai tempat eksekusi rakyat oleh Belanda. Bahwa pemerintah kolonial bertindak sangat tegas terhadap pribumi atau bangsa Belanda sendiri.

Anne lalu menceritakan tragedi Sara Specx yang berusia 13 tahun ketika dieksekusi di halaman museum (waktu itu Balai Kota Batavia). Sara dan pacarnya, Pieter J Cortenhoeff, ketahuan bermesraan oleh Gubernur Jenderal JP Coen. Mereka dihukum dengan sadis. Sara disiksa di halaman museum dan pacarnya dipancung.

“Iih … kok begitu? Jadi, gara-gara pacaran doang dihukum? Jadi, tidak boleh pacaran dong ya?” cetus seorang bocah perempuan. Jawaban ini membuat Anne tertawa keras.

“Ah bagus tuh bagus hukumannya, cuma serem aja,” sambung bocah lainnya. “Coba zaman sekarang di Indonesia hukumannya masih begitu nggak?” tanya Anne.

“Enggaaak laaaah..” jawab mereka bersamaan. Dari kisah Sara dan Pieter, Anne lalu membandingkan ketegasan hukum di Indonesia saat ini yang gampang dipermainkan. Dan anak-anak itu rupanya ‘nyambung’ dengan pembicaraan kasus hukum. “Iya Kak! Seperti kasus si Gayus itu,” kata salah satu dari mereka. “Iya GAYUSSS,” timpal bocah lainnya.

Di tempat lain, di penjara bawah tanah yang pengap dan gelap, Ajeng membawa rombongannya masuk. Sambil menunduk-nunduk mereka berkumpul di tengah ruang penjara yang lembab. “Bayangin kalau kamu sekarang sebagai pejuang yang ditahan di penjara ini. Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu lakukan?” tanya Ajeng.

Jawaban khas anak-anak pun keluar. “Wah saya mau nyogok penjaganya saja!” kata bocah laki-laki dengan cuek.

“Kalau aku depresi Kak,” sambung bocah lainnya.

“Eh jangan depresi dong! Kita harus semangat, berjuang untuk kabur,” balas temannya. Mereka lalu menuliskan apa yang mereka ingin lakukan di penjara bawah tanah itu, di lembar khusus yang dibagikan, sebelum akhirnya keluar.

Museum Ceria baru berdiri tahun lalu. Didirikan oleh empat perempuan lulusan Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Selain Ajeng dan Anne, ada juga Widma Primordian Meissner, dan Furkhanda Partakusuma. Keempatnya punya cita-cita sederhana, yaitu bagaimana menjadikan kunjungan ke museum itu menyenangkan buat anak-anak SD.

Mereka mengambil acuan dari program museum di Australia, Singapura, dan Inggris. Di tiga negara ini, mereka mengakui, program wisata museumnya jauh lebih kreatif dari Indonesia. Umumnya museum di Indonesia masih menjadikan anak-anak sebagai objek yang pasif. Bahwa kunjungan ke museum adalah mendengarkan para pemandu berbicara atau membaca kartu keterangan.

Padahal tidak! Kunjungan ke museum bisa sangat menyenangkan. Pengunjung diajak terlibat secara langsung dengan objek museum. Ajeng mencontohkan bagaimana museum di Singapura dengan pintar menggambarkan situasi sosial negara kecil itu di dekade 1920-an, 1950-an, dan 1980-an lewat tiga telepon.

“Kalau kita angkat telepon itu, nanti ada perempuan yang berbicara. Ia bercerita atau berkeluh kesah bagaimana kehidupan di era 1920-an, sukarnya mencari kerja, atau soal anak-anak remaja yang keras kepala. Jadinya asyik banget,” kata dia.

Contoh lain di salah satu museum prasejarah di Australia. Di sini tidak sekadar memajang fosil dinosaurus, tapi anak-anak bisa mengukur besar kaki mereka dengan jejak dinosaurus. Bahkan, anak-anak bisa mencium dan mendengar kondisi hutan belantara masa dinosaurus. Dengan pengalaman empat dimensi itu (melihat, mendengar, merasa, membaui) dipercaya pengetahuan bisa cepat melekat ke anak-anak.

“Jangankan anak-anak SD, temen-temen saya saja yang sudah kuliah jadi pada doyan ke museum karena hal-hal seperti itu,” sambung Ajeng.

Sayangnya, museum di Indonesia belum menerapkan pendekatan aktif seperti itu. Sehingga, Ajeng dan kawan-kawannya mengambil langkah kreatif dengan menyediakan modul yang memaksimalkan partisipasi anak-anak di museum.

Contohnya ketika mereka membawa anak-anak SD kelas 1-3 ke Museum Basoeki Abdullah. Ketimbang hanya menjelaskan siapa itu Basoeki Abdullah dan karya-karyanya, Museum Ceria membuat program interaktif.

Anak-anak mengikuti program seperti bermain puzzle dari lukisan Basoeki Abdullah. Sembari dijelaskan siapa itu tokoh Basoeki Abdullah dan apa alirannya. Anak-anak juga didongengi latar belakang salah satu lukisan sang maestro, Gatot Kaca dan Antasena. Dan mereka diajarkan melukis potret diri.

Begitu juga ketika Museum Ceria membawa anak-anak kelas 4-6 ke Museum Nasional untuk mendalami soal mitologi Indonesia. Ada atraksi ala wayang beber mengenai Ganesha dan bermain menemukan Ganesha. Menggambar Ganesha.

“Ada anak yang menggambar Ganesha sedang membawa tas belanja, atau memakai topi pet, lucu sekali,” kata Ajeng. Kemudian, anak-anak diberi peran masing-masing dalam lakon Samudramanthana.

Singkat kata, kunjungan ke museum itu sama sekali tidak membosankan kok. Hanya butuh ide kreatif untuk menjadikannya pengalaman sangat menyenangkan. Tertarik mencoba? (Stevy Maradona)


Tanggapan

  1. saya menanti tulisan berikutnya ya…..


Tinggalkan komentar

Kategori