Oleh: museumku | 13 Februari 2015

Perkuat Perlindungan Cagar Budaya

Menindaklanjuti sejumlah arca di halaman Museum Nasional di Jakarta yang kebanjiran, pemerintah dituntut memperkuat prosedur operasi standar perlindungan cagar budaya saat bencana alam, seperti letusan gunung berapi, banjir, dan gempa. Ini penting karena alam Indonesia rawan bencana, sementara jumlah balai pelestarian dan konservator minim.

Dampak luapan banjir yang merendam sebagian arca di halaman Museum Nasional, Jakarta, Senin (9/2) lalu, tidak bisa dianggap sepele. Pembersihan sejumlah artefak yang kebanjiran itu membutuhkan diagnosis dan kajian cepat untuk mendeteksi dan mengatasi berbagai kotoran dan zat kimia yang rentan merusak koleksi tersebut.

Arca Museum Nasional yang Kebanjiran Harus Jadi Pelajaran

”Sebelum penanganan artefak, seperti halnya kita mau menyehatkan tubuh, harus ada diagnosis dan kajian cepat dulu benda-benda itu mengandung apa? Zat-zat yang menempel di arca dan koleksi (yang terendam banjir) harus dikaji secara teliti di laboratorium, lalu dicari penetralisirnya,” ujar Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (12/2).

Proses ini merupakan bagian dari prosedur operasi standar penanggulangan dan penanganan ancaman bencana alam terhadap cagar budaya yang telah diterapkan Balai Konservasi Borobudur. ”Di Museum Nasional sebaiknya dilakukan juga prosedur semacam ini. Pembersihan tak cukup dengan disemprot atau disikat karena zat kimia dan kandungan lain sulit terlihat,” ujar Marsis.

Sebagai perbandingan, saat erupsi Gunung Merapi 2010, permukaan Candi Borobudur dipenuhi abu bercampur sulfur atau belerang. Agar cepat menguap, batuan candi disemprot dengan soda kue. Setelah disemprot, kandungan sulfur pun menguap dan larutan soda kue yang tertinggal di batuan candi kemudian dibersihkan dengan air.

Di tengah kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana alam, kesiapan prosedur operasi standar seperti itu sangat dibutuhkan. Langkah ini juga harus didukung peralatan lengkap dan sumber daya manusia yang mumpuni.


Minim konservator

Konservasi cagar budaya menjadi kebutuhan serius karena Indonesia memiliki sekitar 70.000 cagar budaya dan 328 museum. Namun, semua itu hanya diurus oleh 14 balai, yaitu 12 balai pelestarian cagar budaya (BPCB), Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Pelestarian Manusia Purba Sangiran. Untuk museum swasta, konservator dipenuhi oleh pemilik. Untuk museum yang dikelola pemerintah pusat dan daerah, tenaga konservator minimal satu orang di setiap museum.

”Kalau membandingkan jumlah cagar budaya dan koleksi museum yang begitu banyak dengan jumlah konservator yang hanya sekian orang, ya ngeri. Secara kuantitatif, jelas tidak tercukupi. Namun secara kualitatif, sedikitnya ada dua tenaga ahli di setiap BPCB. Jadi, ada yang bertanggung jawab,” tutur Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto.

Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana prihatin dengan nasib cagar budaya dan artefak museum yang minim perhatian. Seharusnya ada lembaga setingkat badan yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, seperti Badan Ekonomi Kreatif yang baru dibentuk.

”Seperti kata Soekarno, bangsa ini harus berkepribadian dalam kebudayaan. Kita memang belum menempatkan kebudayaan secara mulia di negeri ini. Kami prihatin, tetapi tetap realistis karena dengan anggaran kecil yang dikelola direktorat di bawah ditjen, mustahil bisa mengagungkan karya budaya,” ujarnya.

AMI menunggu desain besar dari pemerintah untuk melestarikan cagar budaya dan permuseuman ini. ”Kebudayaan ini aset kita dan kekuatan besar untuk diplomasi dan pariwisata,” kata Putu. (IVV/ABK)

(Sumber: Kompas, Jumat, 13 Februari 2015)


Tinggalkan komentar

Kategori