Oleh: museumku | 13 Juni 2016

Laporan Pertemuan Nasional Museum 2016

PNM-01Suasana pembukaan PNM 2016 di Bali

Pertemuan Nasional Museum (PNM) se-Indonesia merupakan program tahunan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman bekerja sama dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) dan pemerintah daerah setempat. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai sarana komunikasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, pemilik, pengelola, dan pemerhati museum untuk saling berdiskusi dan bertukar informasi mengenai tantangan dan peluang museum di ranah internasional. Tujuannya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pelayanan pihak museum kepada masyarakat.

PNM kali ini berlangsung di Bali pada 30 Mei sampai 2 Juni 2016. Tema yang diusung adalah Mewujudkan Ekosistem Museum yang Berkarakter dan Berkepribadian Nasional. Peserta yang hadir sekitar 300 orang, meliputi pemilik dan pengelola museum, akademisi, komunitas, pemerhati, pencinta museum, dan jajaran Direktorat Jenderal Kebudayaan sendiri. Acara dibuka oleh Sekretaris Direktorat Jendral Kebudayaan Nono Adya Supriyatno, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang berhalangan hadir. Seusai pembukaan, Nono Adya Supriyatno sempat dibuatkan sketsa lukisan oleh maestro seni lukis Indonesia, Nyoman Gunarsa.


Teknologi Digital

Rangkaian acara PNM diawali dengan makalah sesi pertama oleh Pakar Media Sosial, KRMT Roy Suryo dan Direktur e-Government Kemenkominfo, Firmansyah Lubis. Diskusi sesi pertama itu bertema Pemanfaatan Teknologi Digital dalam Pengembangan Museum.

Roy Suryo mengawali diskusinya dengan beberapa cuplikan film. Menurutnya, film itu menyiratkan adanya perkembangan teknologi masa kini dan objek yang diminati oleh generasi muda. Perkembangan museum, kata Roy, juga sangat penting bagi generasi muda selaku penerus bangsa.

Roy memberi contoh film Titanic, yang masih tetap eksis hingga kini karena adanya kecanggihan teknologi. Film produksi 1997 itu terkenal karena dua bintang utamanya berdiri di buritan kapal. Ternyata gambar tersebut merupakan manipulasi teknologi digital. “Tak hanya film, permainan online pun sudah menggunakan sistem atau aplikasi yang lebih bagus dibandingkan dahulu,” tutur Roy.

Roy mengemukakan teknologi digital sangat penting pada era kini dan perkembangannya pun kian pesat. Museum tak hanya jajaran koleksi semata namun juga sebagai sarana hiburan. “Kita harus tahu sasaran pengunjung itu siapa dan akan dibuat seperti apa,” kata Roy.

Harapan Roy, museum dapat mendigitalkan koleksinya. “Museum kita bawa ke dunia maya. Teknologi dapat membuat perubahan besar menjadikan budaya yang lebih bisa dinikmati,” ungkap Roy sembari memberi contoh film Night at the Museum yang mencapai tiga seri.

Menjawab pertanyaan peserta tentang pendigitalan koleksi, menurut Roy, jangan ditampilkan semua. Yang dikhawatirkan pengelola museum memang kalau semua koleksi didigitalkan, masyarakat diperkirakan tidak akan mau lagi mengunjungi museum atau tidak ada interaksi. “Pengelola museum harus mempunyai trik. Pada koleksi tertentu yang unik, menarik, atau langka, misalnya, bisa ditampilkan sebagian. Setelah itu ditulis, ‘Untuk mengetahui lebih lengkap tentang koleksi ini, silakan berkunjung ke museum’. Teknologi digital hanya sarana untuk mempermudah, museum tidak boleh kehilangan personal touch,” begitu kira-kira tanggapan Roy.

Firmansyah pun turut mendukung adanya pemanfataan teknologi digital di museum. Namun, katanya, tentu perlu berbagai kebijakan terkait hal ini. “Regulasi e-Government sudah ada di Indonesia. Kita harus aktif namun tetap harus berhati-hati dalam membangun sistem informasi dan digital,” jelas Firmansyah.

Firmansyah mengatakan, teknologi dan digitalisasi berkembang pesat. Karena itu harus ada perencanaan, termasuk pendanaan. Maka, kata Firmansyah, perlu dibuat masterplan jangka panjang (3 tahun, 5 tahun, 10 tahun) dan jangka pendek (triwulan, semester, pertahun. Lebih lanjut, menurut Firmansyah, supaya copy right koleksi aman, maka pemerintah pun mengeluarkan Undang-undang Tipiti (Tindak Pidana Teknologi Informasi).

Sesi berikutnya bertema Kebijakan Pengembangan Permuseuman, menampilkan tiga narasumber, yakni anggota DPR RI Komisi X, Jefirston Richset Riwu Kore, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto; dan Ketua Asosiasi Museum Indonesia, Puta Supadma Rudana.

Jefirston Richset mengatakan, Komisi X mempunyai tugas dan tanggung jawab besar terkait permuseuman Indonesia. “Museum di Indonesia, baik museum pemerintah di daerah maupun museum swasta, belum mendapatkan perhatian yang baik. Komisi X bertugas untuk mengubah paradigma masyarakat tentang museum dan juga ikut membantu meningkatkan SDM, termasuk membantu advokasi terkait payung hukum museum di Indonesia,” tegas Jefirston.

Jefri pun menyadari bahwa museum dipandang merupakan tempat pembuangan orang-orang yang tidak mendukung salah satu calon dalam pilkada. Anggaran untuk museum pun, menurut Jefri, masih relatif kecil.

Di sisi lain, Harry Widianto menyampaikan perlu adanya peningkatan penampilan museum-museum menjadi lebih baik untuk dikunjungi dan dinikmati sesuai dengan fungsi museum, yaitu pengkajian, pendidikan, dan kesenangan. Harry mencontohkan untuk alur cerita, misalnya, jangan hanya menampilkan botol, gelas, telepon seluler, dan mike tapi menjelaskan hubungan kesemuanya. “Dengan demikian informasi museum menjadi menarik,” kata Harry.

Sementara itu Putu Supadma Rudana mengatakan, museum harus maju dan dekat dengan media. “Kekuatan museum di Indonesia adalah terkait artefak-artefak yang kita miliki. Oleh karena itu, museum juga harus mengikuti kemajuan zaman, contohnya museum harus dekat dengan media,” kata Putu.

Beberapa pertanyaan diajukan dalam sesi itu, antara lain tentang petugas pajak yang datang menagih ke museum swasta, tentang temuan BPK soal nilai koleksi yang Rp 0, dan biaya listrik yang mahal.


Diskusi Panel

Kegiatan PNM juga diisi dengan kegiatan diskusi panel. Diskusi panel I bertopik Peningkatan Citra Museum di Indonesia dengan pembicara Harry Darsono dari Museum Harry Darsono dan Suratman, Ketua Badan Musyawarah Musea DI Yogyakarta. Diskusi panel II bertopik Pelibatan Publik dalam Pengembangan Museum dengan pembicara Nyoman Gunarsa dari Himpunan Museum Bali dan Thomas Ardian Siregar dari AMIDA Jawa Barat.

Melanjutkan diskusi panel, diadakan diskusi kelompok. Para peserta dibagi dalam enam kelompok. Dihasilkan empat rumusan untuk topik Peningkatan Citra Museum di Indonesia, Pelibatan Publik dalam Pengembangan Museum, Manfaat Museum untuk Pendidikan, dan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 66 /2015 tentang Museum.


Kunjungan dan Penutupan

Memasuki hari ketiga Pertemuan Nasional Museum, Rabu, 1 Juni 2016, peserta melakukan kunjungan ke beberapa museum di Bali. Museum-museum tujuan peserta adalah Museum Bali, Museum Gedong Arca, Agung Rai Museum of Art (ARMA), dan Museum Puri Lukisan.

Malam harinya PNM 2016 resmi ditutup. Acara penutupan berlangsung di Gedung Jaya Sabha, Denpasar. Gubernur Bali I Made Mangku Pastika bertindak sebagai tuan rumah. Hadir dalam acara tersebut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid.

Dalam sambutannya, Mangku Pastika mengatakan bahwa museum adalah harta karun. Maka harus dipelihara dengan baik dan harus juga dimaknai. “Untuk mewujudkan itu, pengelola museum wajib memahami setiap detail benda yang menjadi koleksi museum agar tetap menarik dan dikunjungi oleh masyarakat Indonesia, khususnya para generasi muda,” ucap Mangku Pastika.

Sementara Hilmar Farid menyatakan bahwa museum merupakan objek budaya dengan posisi yang strategis karena berfungsi sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa. “Oleh karena itu, kita harus sama-sama mengawal proses tersebut agar tujuan untuk menstrategiskan museum terwujud,” ujar Hilmar Farid. Hilmar juga berharap agar museum bisa menjadi hulu untuk membangkitkan kebudayaan. (Djulianto Susantio)


Tinggalkan komentar

Kategori