Oleh: museumku | 14 September 2012

Moh. Amir Sutaarga, Kamus Hidup Permuseuman

Moh. Amir Sutaarga dengan Trofi Pengabdian Sepanjang Hayat

Untung ada Komunitas Jelajah. Komunitas yang berdiri pada 2010 ini memang berfokus pada sejarah, sesuai dengan namanya Jelajah–akronim dari Jejak Langkah Sejarah. Dalam perkembangannya, komunitas ini pun berapresiasi kepada museum. Maka dalam Malam Anugerah Purwakalagŗha (Museum Awards) 1 Juni 2012, komunitas ini sangat peduli terhadap kiprah seorang tokoh yang telah puluhan tahun mendedikasikan dirinya untuk dunia permuseuman. Orang itu kemudian dianugerahi sebutan Bapak Permuseuman Indonesia sekaligus penghargaan khusus Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement). Anugerah tersebut memang belum sebanding dengan jasa dan perjuangannya selama ini, namun Moh. Amir Sutaarga merasa bangga karena ada generasi muda yang memperhatikannya.

Mendengar atau membaca nama Amir, jelas tidaklah familiar. Soalnya, bidang yang digeluti Amir, bukanlah termasuk ilmu populer. Hanya sebagai olok-olok nama ’museum’ sangat dikenal. Amir merupakan orang Indonesia pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu permuseuman.

Sebenarnya, cita-cita Amir kecil adalah belajar perkapalan di Belanda. Namun karena pecah perang pada 5 Maret 1942, cita-citanya menjadi hancur. Akibatnya ketika bersekolah di Taman Madya Yogyakarta, dia memasuki dunia militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Selama beberapa bulan Amir bergerilya bersama teman akrabnya, Uka Tjandrasasmita, yang kemudian dikenal sebagai arkeolog. Karena kecerdikannya, Amir ditugaskan di bagian intelijen. Sebagai perwira penghubung, dia ditunjuk mengatur siasat. Pada 1947, ketika berusia 19 tahun, pangkat kemiliteran Amir sudah tinggi, yakni Letnan Dua pada divisi Siliwangi. Amir sendiri lahir pada 5 Maret 1928.


Etnologi

Pada 1948 Amir ditawan Belanda selama beberapa bulan. Tahun itu juga ayahnya yang berprofesi sebagai pamongpraja meninggal. Sang ayah hanya sempat berpesan kepada Amir, ”Kamu jangan masuk pamongpraja atau polisi karena tidak menurunkan ilmu”. Amir yang sedang bingung kemudian bertemu van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Hoop lah yang mengajak Amir ke Jakarta. Kelak, Amir belajar sekaligus menularkan ilmu di bidang etnologi atau ilmu bangsa-bangsa. Jadi Amir merasa telah mematuhi pesan ayahnya.

Tahun 1952 Amir diangkat van der Hoop menjadi redaktur penerbitan. Di situlah Amir mulai menuangkan gagasan tentang museum melalui tulisan. Para ilmuwan di BGKW sangat senang dengan kepintaran Amir. Maka pada 1955 Amir dihadiahi beasiswa untuk belajar museum di Eropa Barat.

Selepas dari Eropa, pada 1958 Amir memasuki Jurusan Antropologi UI. Sambil menuntut ilmu, dia aktif di Lembaga Museum Nasional. Dia bahu-membahu memperkenalkan dunia permuseuman dan kepurbakalaan dengan R. Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, yang waktu itu menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Ketika pada tahun 1962 Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diserahkan kepada pemerintah, Amir diangkat menjadi Kepala Museum Pusat, yang sekarang menjadi Museum Nasional. Lepas dari Kepala Museum Pusat, Amir menjadi Direktur Permuseuman. Sebenarnya setelah itu, Amir dicalonkan oleh Angkatan Darat menjadi Direktur Jendral Kebudayaan, namun Amir menolak secara halus. “Berikan saja jabatan itu kepada orang-orang pintar,” katanya.

Ada kejadian yang tidak bisa dilupakan Amir ketika menjabat Kepala Museum Pusat. Suatu pagi tahun 1963 datang seorang ‘polisi’ dengan ‘kendaraan dinas’. Sewaktu para pekerja masih mengepel lantai, ‘polisi’ tadi menodongkan pistol. Ruang khasanah digerayanginya. Akibatnya, sejumlah koleksi perhiasan emas diambil si perampok. Ternyata si perampok itu adalah penjahat besar bernama Kusni Kasdut yang kemudian dihukum mati.


Penerjemah

Sedari kecil Amir senang membaca. Dia banyak belajar dari pamannya, Sjafruddin Prawiranegara. Bahkan karena ikut van der Hoop, Amir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jepang. Bahasa Jawa kuno juga dipahaminya. Karena menguasai bahasa asing, Amir sempat menerjemahkan beberapa buku. Salah satu bukunya yang paling laris karena telah mengalami belasan kali cetak ulang adalah Perempuan di Titik Nol terbitan Yayasan Obor.

Menulis buku juga sering dilakukan Amir. Bukunya yang fenomenal, di luar buku-buku permuseuman, adalah tentang Prabu Siliwangi. Amir malah senang menulis humor. Meskipun diketik manual dan distensil, hasil karyanya pernah diedarkan ke sejumlah teman dan anak buahnya. Karya stensilannya yang ’kontroversial’ itu berjudul Perang Kentut. ”Isinya kocak habis, pasti yang membaca terpingkal-pingkal,” kata Trigangga, staf Museum Nasional, yang pernah menjadi anak buahnya.

Godaan sebagai pimpinan museum, terutama dalam tender, sering dijumpai Amir. Sejumlah amplop pernah disodorkan kepadanya, tapi segera dikembalikan. Banyak keluarganya yang ikut tender, namanya segera dicoret. Amir benar-benar anti KKN.


Museologi

Tahun 1984 Amir merintis mata kuliah Museologi di Jurusan Arkeologi FS-UI. Sebenarnya, dia akan membuka mata kuliah tersebut di Jurusan Antropologi FISIP-UI. Namun karena waktu itu ada clash dengan Dekan FISIP, maka Guru Besar Antropologi Prof. Koentjaraningrat dan Guru Besar Arkeologi Prof. R. Soekmono mengalihkannya ke Jurusan Arkeologi. Kini mata kuliah Museologi telah berkembang pesat. Bahkan telah menjadi program setara pascasarjana di UI, UGM, dan Unpad.

Setelah sembilan tahun bergelut di dunia pendidikan, akhirnya pada 1993 Amir resmi pensiun. Pangkat terakhirnya adalah IV/E setara dengan guru besar. ”Saya adalah direktur yang tidak punya apa-apa sekembalinya ke UI,” katanya dengan guyon. Direktur dengan kantong petruk, begitu istilah Amir.

Prinsip Amir dalam memimpin adalah memperhatikan bawahan. Untuk itu Amir mencari kerja sama dengan berbagai instansi dan lembaga, seperti Rockefeller Foundation dan ICOM, demi mendapatkan dana beasiswa. Selama kepemimpinannya, sejumlah anak buahnya berhasil dikuliahkan di dalam negeri dan di luar negeri. Saking memperhatikan anak buah, kalau ke daerah Amir selalu ingin tidur bersama stafnya. ”Saya harus membagi ilmu secara informal, kan gak terasa,” kata ayah dari enam putra/putri dan kakek dari 13 cucu ini beralasan.

Kebanggaan Amir, saat ini beberapa anak buahnya sudah ’jadi orang’. Dia menyebut Intan Mardiana dengan berbagai kebijakannya. ”Batak yang galak ini dipuji beberapa kepala museum,” katanya sambil terkekeh. Intan Mardiana pernah menjabat Direktur Permuseuman dan saat ini menjadi Pelaksana Tugas Harian Museum Nasional.

Untuk memajukan museum, kata Amir, masyarakat dan komunitas harus mengambil bagian. Di berbagai negara ada Friends of Museum, dengan aktivitas antara lain menerbitkan buletin, menerbitkan buku, dan membuat cendera mata.

Dalam pertemuan akhir Mei lalu, meskipun sudah berusia 84 tahun, Amir masih bersemangat bicara soal museum. Suaranya berapi-api dan ingatannya masih kuat. Sesekali diselingi cerita lucu, cerita jorok, dan cerita seram khas Amir dulu. Hanya pendengarannya agak terganggu.

Kini seluruh bukunya, sekitar akhir 2011 lalu, disumbangkan ke Perpustakaan FIB-UI. Amir yang bersahaja memang benar-benar telah menurunkan ilmu. Manusia langka yang pantas dicatat dalam museum, karena Amir adalah Kamus Hidup Permuseuman. (Djulianto Susantio)

*Dimuat dalam Museografia, Vol. VI, No. 9 – Juli 2012


Tanggapan

  1. […] Susantio, Djulianto. 2012. Moh. Amir Sutaarga, Kamus Hidup Permuseuman. Diakses dari https://museumku.wordpress.com/2012/09/14/moh-amir-sutaarga-kamus-hidup-permuseuman/ […]


Tinggalkan komentar

Kategori