Oleh: museumku | 23 April 2016

Museum Nasional Teliti Kain Kulit Kayu Mentawai

Mentawai-1Trigangga dari Museum Nasional dan Sikerei (Koleksi Trigangga)

Museum Nasional meneliti tradisi kain kulit kayu di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Penelitian selama lebih dari satu minggu tersebut merupakan bagian dari upaya untuk memetakan penyebaran kain kulit kayu dan untuk memutakhirkan data koleksi museum.

Kain kulit kayu telah ada sejak zaman prasejarah. Kain jenis ini berkembang sebelum masyarakat mengenal kain tenun.

Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional Trigangga, di Padang, Sumatera Barat, Jumat (22/4), mengatakan, penelitian berlangsung pada 11-20 April di Kepulauan Siberut, yakni Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Siberut merupakan salah satu kepulauan di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan saat ini menjadi satu-satunya tempat bermukimnya masyarakat asli suku Mentawai.

Menurut Trigangga, data dari Mentawai akan menambah data yang dimiliki Museum Nasional mengenai tradisi kain kulit kayu. Sebelumnya, penelitian serupa dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia, antara lain Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

“Kami memang memiliki data koleksi, tetapi banyak yang berasal dari zaman penjajahan Belanda. Mengingat kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis, kami yakin pasti ada perubahan meskipun tidak banyak. Oleh karena itu, perlu ada kajian untuk pemutakhiran data koleksi tersebut,” tutur Trigangga.

Valentina, antropolog yang ikut dalam tim pengkajian kain kulit kayu, menambahkan, fokus kajian diarahkan pada kabid (cawat) dari kulit kayu yang digunakan oleh sikerei atau dukun sekaligus ahli pengobatan tradisional di Mentawai. Kabid dipakai oleh sikerei tidak hanya saat menggelar ritual pengobatan, tetapi juga saat memimpin ritual lain dalam tradisi suku Mentawai.

“Kajian ini sangat penting karena banyak sekali cerita yang bisa digali, terutama terkait kearifan lokal dari tradisi kain kulit kayu. Tradisi ini sudah ada sejak zaman prasejarah dan masih bertahan sampai sekarang,” ujar Valentina.


Wawancarai “sikerei”

Menurut Valentina, proses pengambilan data dilakukan dengan melihat langsung proses pembuatan kabid dan mewawancarai sikerei.

“Kami mencatat bagaimana mereka terlebih dahulu harus ke hutan, memilih pohon yang sesuai, membaca tanda-tanda alam, memohon izin, membawa pulang bahan, melakukan proses pewarnaan, dan mengolahnya menjadi kain. Selain itu, kami juga mempelajari cara perawatannya,” papar Valentina.

Ia menambahkan, hasil kajian juga memperlihatkan bahwa kabid yang digunakan, terutama oleh sikerei, bukan sebuah bentuk keprimitifan, melainkan kearifan lokal masyarakat setempat untuk terus hidup seimbang dengan alam.

“Kajian ini memang masih awal sehingga tidak menutup kemungkinan kami akan melakukannya lagi,” kata Valentina. (ZAK)

(Sumber: Kompas, Sabtu, 23 April 2016)


Tinggalkan komentar

Kategori