Oleh: museumku | 13 Oktober 2010

Bandung Kota Museum

Oleh ANTON SOLIHIN

KOMPAS Jawa Barat, Senin, 11 Okt 2010 – Membaca artikel Noverius Ali (Kompas, 21/9) perihal mengubah citra museum, khususnya di Kota Bandung, yang bisa dikaitkan dengan potensi kota ini dan kemungkinan lahirnya museum-museum atraktif seperti yang kita idamkan, menurut penulis, hal tersebut sangatlah besar. Penulis berpendapat bahwa citra museum-museum yang ada di Kota Bandung saat ini memang sudah stagnan.

Artinya, minat orang untuk datang ke museum lebih dari sekali pun rasanya susah payah diupayakan, dan hal ini berkaitan dengan kesan umum museum sebagai tempat yang kurang menarik untuk dikunjungi. Zaman telah berubah dan keberadaan museum-museum tersebut menjadi tampak seperti rumah hantu, membosankan dengan penampilan yang tidak menggugah minat.

Museum-museum di Kota Bandung sudah ada sejak masa kolonial Belanda: Museum Geologi (Museum van den Dienst van den Mijnbouw, 1929), Museum Pos dan Giro (Museum van den Post, Telegraaf en Telefoondienst), dan Museum Kaboedajaan Parahyangan yang mengambil tempat sebagian ruang dalam Pendapa Kabupaten Bandung (saat ini semua benda etnologi di tempat tersebut telah dipindahkan ke museum yang kemudian didirikan, Museum Negeri Sri Baduga di kawasan Tegallega).

Pernah pula ada usaha untuk mendirikan Museum Alam Terbuka Sunda (Soenda Openlucht Museum) di kawasan Dago Atas pada akhir 1930-an, semacam cagar alam-budaya karena di samping kekayaan flora-fauna dan Air Terjun Dago, juga terdapat situs perkampungan purba. Sayang, rencana tersebut gagal terealisasi.

Di masa kemerdekaan, berdiri pula Museum Konferensi Asia Afrika (mengenang peristiwa KAA 1955) dan Museum Mandala Wangsit Siliwangi (terkait peranan besar Divisi Siliwangi pada masa revolusi kemerdekaan) serta sejumlah galeri perupa yang bisa kita sebut juga sebagai museum, seperti NuArt, Museum Barli, dan Selasar Soenaryo, yang apabila kita perhatikan dengan cermat selalu berhubungan dengan peristiwa, riwayat, dan pertumbuhan Kota Bandung.


Museum Persib?

Dengan sejarah museum kota seperti itu dan spirit yang diusungnya, menurut penulis, setidaknya perlu realisasi gagasan didirikannya museum-museum baru yang inspiratif dan menampilkan citra baru Kota Bandung. Penulis melemparkan wacana pendirian Museum (Khusus) Persib, Museum Musisi Populer dan Industri Musik, serta Museum Buku Bandung.

Museum Persib berkenaan dengan sejarah panjang Persib sebagai kesebelasan wakil Kota Bandung satu-satunya sejak 1933 yang masih eksis berkiprah di liga nasional. Dengan atmosfer Liga Indonesia yang semakin bagus dan nama Persib yang semakin populer, keberadaan museum ini akan menjadi inspirasi pula bagi kota-kota lain di Indonesia untuk mendirikan museum serupa.

Gagasan pendirian Museum Musisi Pop dan Industri Musik juga penting mengingat rentang panjang perjalanan dunia musik di Kota Bandung yang pengaruhnya selalu menasional, yang menandakan potensi dan pengaruh musisi dari Kota Bandung tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dari kota inilah lahir nama-nama seperti Mus DS, Nina Kirana, Tety Kadi, Harry Roesli, Bimbo, Iwan Abdulrachman, Giant Step, The Rollies, Iwan Fals, Jopie Item, Hetty Koes Endang, Krakatau, Remy Sylado, Nicky Astria, Iwa K, Doel Sumbang, Nike Ardila, Koil, Peterpan, dan Darso yang daftarnya bisa terus diperpanjang.

Dari kota ini pula lahir perusahaan-perusahaan rekaman alternatif seperti Yess, Monalisa, Hidayat, dan Apple, termasuk majalah musik Aktuil yang fenomenal sejak 1970-an. Aktuil menyebarkan virus apresiasi musik ke seluruh penjuru negeri, yang disadari ataupun tidak, merupakan cikal bakal semangat indie dan industri kreatif Bandung yang tersohor saat ini. Dengan semua potensi tersebut dan berharap dukungan pihak terkait (termasuk keberadaan satu-satunya Jurusan Museologi Unpad), kemungkinan untuk merealisasikan museum semacam ini seharusnya tinggal menunggu waktu.

Pendirian Museum Buku di Bandung penting bila mengingat letak strategis Bandung yang berada di tengah-tengah pusaran perbukuan Nusantara, di antara segitiga Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Dalam suatu percakapan dengan Haryoto Kunto (alm) pada 1990-an-orang yang dijuluki kuncen Bandung dan mengoleksi hampir 30.000 buku-terungkap bahwa gudang atau harta karun buku di Pulau Jawa berpusat di Bandung, dan dengan begitu artinya di Indonesia.

Salah satu bukti bahwa Bandung selalu menjadi pelopor ialah pernah diselenggarakannya pameran buku (tidak menjual buku seperti umumnya pameran buku sekarang) yang unik yaitu Pameran Buku Antik di bekas Gedung Pancasila di Jalan Wastukancana sekitar awal 1980-an. Sebagaimana halnya dunia sepak bola (Persib) dan dunia industri musik populer, dunia perbukuan di Bandung juga mempunyai rentang sejarah yang panjang dan selayaknya pula diapresiasi dengan pendirian museum.


Museum buku

Pendirian museum-museum yang atraktif, punya daya jual, inspiratif, dan dikelola dengan penuh gagasan berdampak pula pada kunjungan wisatawan yang barangkali tidak hanya ke Bandung untuk wisata belanja, kuliner, atau menjadikan Kota Bandung hanya sebagai akomodasi untuk berwisata alam di luar kota, tetapi juga mengunjungi museum-museum tersebut.

Citra museum yang kusam dan membosankan mudah-mudahan akan terkikis dan diharapkan setiap museum di Kota Bandung akan berlomba mempercantik diri dan dikelola dengan kreatif. Di Museum Persib, bobotoh tentu akan banyak beraktivitas dan menjadi tempat yang semarak sebagaimana halnya Museum MU di Manchester dan museum sepak bola lainnya.

Museum Musisi Pop dan Industri Musik juga bisa selalu bergeliat dengan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan musik (temu musisi, konser, tempat berkumpul komunitas musik, dan lainnya) sehingga bisa hidup sepanjang waktu.

Begitu pula dengan adanya Museum Buku, yang berdasarkan jenisnya, kegiatan apa pun bisa dilakukan. Apalagi, bila dikaitkan dengan citra Bandung sebagai salah satu kota perbukuan dengan beragam penerbit dari berbagai masa, sejumlah perpustakaan, toko-toko buku legendaris (Van Dorp, Sumur Bandung, Malabar, Toko Buku Dahlan, dan sebagainya), pegiat komunitas-komunitas yang berhubungan dengan perbukuan, dan lainnya.

Gagasan mengenai museum-museum di atas beserta kemungkinan-kemungkinannya bisa terus ditambahkan meskipun disadari atau tidak sebetulnya kota ini sendiri bertindak sebagai museum bagi dirinya sendiri, atau bila kita dengan kesadaran penuh menyadarinya. Tidak percaya? Kita, misalnya, bisa mulai keliling Kota Bandung sebagai museum dengan menikmati arsitektur gedung-gedung art deco yang indah dan langka.

ANTON SOLIHIN
Pengelola
Perpustakaan Batoe Api
di Jatinangor, Sumedang


Tinggalkan komentar

Kategori