Oleh: museumku | 4 Februari 2012

Konsep Penyajian Museum (Bagian 3)

Tim Penulis:

• Yunus Arbi
• Kresno Yulianto
• R. Tjahjopurnomo
• M Ridwan Abdulroni Kosim
• Osrifoel Oesman
• Sukasno


Bab III Evaluasi dan Telaah Dokumen Proposal Revitalisasi Fisik Museum

Museum didirikan adalah untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, dan sebagai sarana pendidikan nonformal, oleh karena itu pemerintah menganggap bahwa museum itu menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan, dan pengembangannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan politik di bidang kebudayaan.

Dalam rangka penyusunan naskah Konsep Penyajian Museum khususnya ruang Pameran Tetap bagi ketigapuluh (30) museum yang akan direvitalisasi fisik pada tahun ini, maka perlu dilakukan evaluasi dan telaah terhadap dokumen proposal revitalisasi fisik museum 2011 yang telah diajukan oleh masing-masing Museum (tabel 1 lampiran). Ketigapuluh museum terdiri atas 21 museum umum dan 9 museum khusus. Seperti diketahui program tahun ini menekankan pada aspek fisik, sebagai salah satu aspek dari enam aspek program revitalisasi museum ke depan. Pada tahun ini juga akan dilakukan proses perancangan desain yang baru kemudian dilanjutkan pelaksanaan pekerjaan fisik.

Evaluasi dilakukan dengan dua cara, yang pertama melakukan evaluasi umum dengan membuat parameter pemeriksaan dokumen tentang persyaratan dan kriteria, dan kedua melakukan evaluasi khusus dengan membuat parameter berdasarkan kategori pekerjaan fisik yang akan dilakukan sesuai ruang lingkup pekerjaan. Selain itu juga dilakukan telaah khusus dengan mengambil beberapa variabel dominan dari unsur-unsur perancangan desain penyajian ruang pameran tetap di dalam Museum.

Parameter dalam evaluasi umum mengacu dari buku Pedoman Pelaksanaan Revitalisasi Fisik Museum di Indonesia 2011 (selanjutnya disingkat PPRFMI 2011) yang memuat persyaratan dan kriteria dalam ketentuan administrasi, bahwa proposal yang diajukan harus berisi: 1) KAK (Kerangka Acuan Kerja); 2) RAB (Rencana Anggaran Biaya) dan SBU ( Standar Biaya Umum); 3) Data pendukung; dan 4) gambar kondisi sekarang dan gambaran sesudahnya, yang selanjutnya diikuti oleh enam ketentuan lainnya (PPRFMI 2011:10—1).

Demikian juga halnya dengan parameter dalam evaluasi khusus mengacu dari batasan lingkup pekerjaan fisik, secara garis besar berdasarkan skala prioritas adalah: 1) penataan interior; 2) penataan eksterior; 3) rehabilitasi fisik bangunan; 4) perbaikan dan pengadaan fasilitas penunjang; 5) perluasan bangunan museum; dan 6) pendirian museum baru dengan ketentuan tambahan (PPRFMI 2011:6—7).

Telaah khusus mengambil variabel alur cerita (storyline), model alur penyajian, denah layout ruang pameran tetap, alur pengunjung, detil desain interior dan furnitur peraga benda koleksi, dan kelengkapan data pendukung antara lain berupa foto-foto, alat dan peralatan kebutuhan ruang pameran tetap. Keenam variabel ini seharusnya ada di dalam setiap dokumen yang berisi kondisi keadaan sekarang (existing condition) dan proposal desain baru.


3.1. Evaluasi Umum

Hasil evaluasi umum memperlihatkan dokumen Proposal Revitalisasi Fisik Museum 2011 yang diajukan oleh masing-masing museum secara umum memang memenuhi kriteria dan ketentuan seperti yang telah disyaratkan oleh buku Pedoman Pelaksanaan Revitalisasi Fisik Museum di Indonesia 2011, baik secara administrasi, teknis, dan khusus, namun apabila dicermati satu persatu dari masing-masing dokumen tersebut maka diperoleh temuan menarik.

Parameter pertama adalah Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan kedua adalah Rencana Anggaran Biaya (RAB). Ketigapuluh atau semua museum mengajukan KAK dan RAB dalam dokumen proposalnya dengan semua item telah terisi, tetapi tentunya dengan tingkat kelengkapan, uraian, dan penjelasan masing-masing museum berbeda satu sama lain. Parameter ketiga adalah data pendukung, walaupun hampir semua dokumen proposal masing-masing museum memasukkan data ini, namun kelengkapannya tidak memadai dan tidak jelas memuat keterangan yang dapat memahami uraian dalam RAB. Tidak demikian dengan parameter keempat yaitu dokumen gambar existing dan gambar rencana desain yang baru. Proposal yang memasukkan gambar existing ada 23 dokumen, sedangkan yang membuat usulan gambar desain yang baru hanya ada 17 dokumen, berarti ada 13 Museum yang samasekali tidak membuat usulan desain revitalisasi yang baru. Temuan ini memprihatinkan karena hampir mencapai 50% dari jumlah dokumen terkumpul, yang seharusnya menjadi dokumen penting untuk menghitung rencana anggaran biaya (RAB) pekerjaan fisik revitalisasi masing-masing museum.

Para pihak museum sebagai pengaju proposal revitalisasi fisik tampaknya terpaku kepada legalitas formal administrasi, penyusunan KAK, dan pembuatan RAB yang menempati kriteria penting sebagai syarat utama pengajuan, sehingga terkesan mengabaikan faktor kelengkapan proposal gambar desain yang baru. Selanjutnya tentu akan mengundang pertanyaan bagaimana ketiga belas museum tersebut mempertanggungjawabkan perhitungan RAB yang semestinya mengacu pada dokumen gambar rencana desain yang baru.

Sebuah pembuatan dokumen proposal seperti pekerjaan revitalisasi fisik museum yang baik selayaknya mengacu kepada: tahap 1, adalah membuat KAK tentunya harus dengan uraian rinci sesuai dengan format yang telah ditentukan; tahap 2 adalah membuat atau mengumpulkan dokumen existing atau gambar keadaan kondisi sekarang terutama gambar rencana bangunan museum yang ditempati; tahap 3 adalah membuat gambar rencana desain yang baru dengan titik sentral adalah membuat denah layout ruang pameran, yang didasari atas konsep alur cerita (story line) dan model alur penyajian pameran, juga dilengkapi gambar-gambar detil interior dan furniture; kemudian tahap 4 adalah menyusun RAB yang dihitung berdasarkan pekerjaan tahap tiga; dan tahap 5) adalah menyiapkan data pendukung atau bisa juga sebagai lampiran yang memuat gambar foto, spesifikasi teknis alat dan peralatan yang baru, dan lain-lain.


3.2. Evaluasi Khusus

Evaluasi khusus dilakukan dengan cara mencermati Rencana Anggaran Biaya (RAB) masing-masing museum, yaitu memperhatikan jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi pekerjaan revitalisasi fisik masing-masing museum dengan mengambil parameter 6 kategori pekerjaan yang boleh dilakukan yaitu: 1) penataan interior; 2) penataan eksterior; 3) rehabilitasi fisik bangunan; 4) pengadaan fasilitas penunjang; 5) perluasan bangunan museum; dan 6) pendirian museum baru. (PPRFMI 2011:6—7).

Dari evaluasi khusus terhadap RAB ketigapuluh museum ini maka diperoleh gambaran pengelompokkan jenis pekerjaan yaitu;

  1. pekerjaan penataan interior, termasuk di dalamnya pengadaan fasilitas penunjang;
  2. pekerjaan rehabilitasi fisik bangunan termasuk penataan eksterior dan perluasan bangunan; dan
  3. pekerjaan pendirian museum baru.

1. Penataan Interior
Seperti yang tertera dalam buku pedoman pelaksanaan penataan interior merupakan pekerjaan skala prioritas utama dalam program revitalisasi fisik museum. Berdasarkan jenis ruangan dalam museum, pekerjaan penataan interior meliputi: a) penataan kembali ruang Pameran Tetap; b) penataan ruang Penyimpanan (Storage); c) penataan ruang Laboratorium; d) penataan ruang Pengenalan; e) penataan Bengkel kerja preparasi; dan f) pengadaan ruang dan fasilitas penunjang. Dari RAB pekerjaan fisik 30 museum, 26 museum memang mengajukan pekerjaan penataan interior, lebih dari 20 museum mengkhususnya RAB-nya pada penataan interior ruang pameran tetap dan ruang penyimpanan (storage) berikut dengan furnitur-nya. Permasalahannya tampak pada kekurangan bahkan ketiadaan usulan gambar desain yang baru sebagai dasar perhitungan RAB.

2. Rehabilitasi fisik bangunan
Dari tinjauan terhadap dokumen proposal revitalisasi masing-masing museum, 21 museum juga mengajukan pekerjaan rehabilitasi fisik bangunan. Dalam RAB, lebih dari 10 museum memperlihatkan ketidakjelasan apakah rehabilitasi fisik hanya meliputi ruang-ruang yang termasuk dalam penataan interior seperti ruang pameran tetap dan ruang penyimpanan, atau keseluruhan dari bangunan dan perluasan dari bangunan museum.

3. Pendirian Museum
Lingkup pekerjaan revitalisasi fisik museum yang termasuk dalam kategori pendirian museum baru ada dua museum: 1) pendirian Museum khusus baru Gayo, Aceh Tengah dengan kelengkapan dokumen gambar cukup memadai termasuk desain gambar detil pelaksanaan (DED); sedangkan yang kedua adalah Museum khusus baru Jombang di Jawa Timur, boleh dikatakan hampir tidak ada dokumen gambar perencanaan, kecuali menyertakan data pendukung dan memasukkan item pekerjaan kajian dan konstruksi bangunan seperti yang tertuang dalam RAB-nya.

Tinjauan Jumlah Anggaran 30 Museum
Jumlah anggaran Tugas Pembantuan (TP) untuk program Revitalisasi Fisik Museum tahun 2011 yang dialokasikan bagi ketiga puluh (30) museum mencapai sembilan puluh empat milyar rupiah (94 M). Dua puluh empat (24) museum diantaranya memperoleh anggaran antara satu sampai dua setengah milyar rupiah (1–2,5 M), empat (4) museum memperoleh anggaran lima milyar rupiah (5 M), satu (1) museum memperoleh anggaran tujuh milyar rupiah (7 M), dan satu (1) museum memperoleh anggaran limabelas milyar rupiah (15 M).

Tugas Pembantuan
1. RAB 1–2,5 Milyar.
24 museum yang akan memperoleh anggaran 2,5 M ini secara umum lebih dari 50% menitikberatkan pada pekerjaan penataan ruang pameran tetap terutama pada pembuatan furnitur peraga dan penataan interior-nya, sebagian lagi sekitar 7 museum memfokuskan pekerjaan rehabilitasi fisik bangunan, baru kemudian pekerjaan penataan interior, dan 2 museum tidak begitu jelas fokus pekerjaannya.

2. RAB 5 Milyar.
4 museum dari 30 museum yang memperoleh anggaran ini. Dua adalah:
a) museum Kartini di Jawa Tengah, sebagian besar anggarannya diperuntukkan untuk rehabilitasi atau renovasi fisik bangunan yang memang mempunyai makna bersejarah;
b) museum propinsi La Galigo di Makasar, sekitar 60% anggaran diperuntukkan bagi penataan interior, dan 40% akan digunakan untuk renovasi atau melestarikan bangunan museum yang merupakan bangunan cagar budaya Benteng Rotterdam. Terkesan kurang jelas uraian dalam RAB dan usulan perencanaan interior dan usulan renovasinya. Dua museum lainnya yang mendapat anggaran ini masuk dalam kategori pendirian museum baru.

3. RAB 7 Milyar.
Museum yang memperoleh anggaran sebesar ini adalah Museum Jambi yang menekankan pekerjaan fisik interior dam eksterior, namun dokumen proposal ini sama sekali hampir tidak layak, tidak ada menawarkan desain baru, tidak membuat denah (layout) interior ruang pameran, tidak ada storyline dan model alur penyajian pameran, kecuali menyertakan data pendukung pekerjaan fisik.

4) RAB 15 Milyar.
Gabungan pekerjaan penatatan interior dan rehabilitasi fisik bangunan yang diajukan oleh museum propinsi Sumatera Selatan ini merupakan anggaran paling besar, tetapi sangat memperihatinkan bahwa dokumen proposal sama sekali tidak ada gambar atau desain baru dan sedikit menyertakan gambar eksisting, dan data pendukungnya.


3.3. Telaah Khusus Dokumen dalam konteks Konsep Penyajian Pameran

Dari hasil evaluasi umum dan khusus terhadap ketigapuluh dokumen Proposal Revitalisasi Fisik Museum 2011 yang telah dilakukan, maka dianggap perlu melakukan telaah lebih khusus terhadap dokumen penataan interior ruang pameran tetap, dalam konteks hubungannya dengan pekerjaan Konsep Penyajian Pameran. Variabel yang ditelaah adalah; 1) Konsep Alur cerita (Story line); 2) Model Penyajian pameran; 3) Denah interior ruang Pameran; 4) Skematik alur pengunjung dan sirkulasi ruang; 5) Gambar atau sketsa interior dan furnitur; dan 6) data pendukung.

1) Variabel Konsep alur cerita (Storyline).
Dari penelusuran dokumen proposal ketigapuluh museum, hanya 12 museum yang menyajikan konsep alur cerita, dan 18 museum lainnya sama sekali tidak menyertakan konsep alur cerita baik yang eksisting maupun baru. Dari 12 museum yang membuat konsep alur cerita hanya 5 museum yang membuat keduanya, bila diperiksa lebih lanjut, maka 9 museum hanya menyertakan konsep alur cerita eksisting dan 6 museum membuat konsep alur cerita yang baru.

2) Variabel Model alur penyajian pameran.
Demikian pula halnya dengan pengajuan model alur penyajian ruang pameran, hanya 6 museum yang membuat alur penyajian pameran secara lengkap, artinya menyertakan model lama atau eksisting sekarang dengan konsep kronologis dan menawarkan alur penyajian baru yang berbeda dengan yang lama. Dari pilihan 4 model yang ditawarkan sebagian besar dari 6 museum memilih model tematis. Museum yang tetap memakai konsep alur penyajian lama dengan rata-rata konsep kronologis ada 8 museum, sedangkan hanya 5 museum membuat model yang baru dengan konsep gabungan dan tematis. Dengan demikian dari 30 museum ada 11 museum yang membuat model penyajian pameran yang baru. Ada sedikit catatan mengenai model penyajian pameran yang dibuat oleh 11 museum tersebut, sebagian besar menyatu dan terlihat dalam denah (layout) ruang pameran.

3) Denah interior ruang pameran.
Dalam sebuah dokumen perencanaan bangunan, denah merupakan induk rencana sejumlah gambar dan landasan bagi perhitungan rencana anggaran biaya. Konteks dalam rencana revitalisasi ini, denah interior pameran harus berisi pembagian ruang-ruang yang dilengkapi furnitur atau benda peraga koleksi museum, dan detil gambar penyelesaian interior ruangan. Tentunya berikut berlaku untuk ruang-ruang lainnya sesuai skala prioritas. Dalam dokumen revitalisasi ketigapuluh museum, 14 museum menyajikan gambar denah (layout) ruang pameran secara lengkap, baik yang eksisting maupun usulan baru, 3 museum meskipun ada gambarnya tetapi tidak lengkap dalam arti agar bisa dihitung RAB-nya dengan baik. Kemudian 6 museum hanya mampu menyajikan gambar eksisting denah layout ruang pameran saja, tentu sekaligus mengundang pertanyaan bagaimana cara RAB disusun? Pertanyaan yang sama terhadap 7 museum yang tidak mempunyai gambar denah (layout) ruang pameran.

4) Alur pengunjung.
Konsep mengenai alur atau sirkulasi pengunjung dalam sebuah museum hendaknya menyatu dengan konsep penyajian ruang. Sebaiknya dapat terlihat pada gambar denah layout ruangan. Dari pengajuan gambar denah (layout) ruang pameran yang memperlihatkan adanya arah alur pengunjung hanya 11 dari 30 museum.

5) Desain interior dan furniture.
Jumlah anggaran penataan interior dan furnitur utamanya ruang pameran dan penyimpanan dalam RAB yang terdapat pada dokumen proposal ketigapuluh museum, sesungguhnya merupakan program utama revitalisasi fisik museum 2011. Walaupun semua museum membuat RAB, sayangnya hanya 11 museum yang menyajikan gambar-gambar detil interior dan furniture yang baru sebagian berupa sketsa dan menyertakan gambar eksisting berupa foto. Sedangkan 13 museum lainnya ada yang hanya menyajikan gambar atau foto kondisi eksisting dan sketsa standar detil furnitur untuk program baru. Masih ada empat museum yang sama sekali tidak menyertakan dokumen apapun.

6) Data pendukung.
Pengecualian ada pada dokumen ini karena dari 28 museum hanya tiga museum yang tidak atau sedikit sekali mengajukan dokumen data pendukung. Kebanyakan dari data pendukung adalah foto-foto, brosur untuk produk furnitur, material bahan, alat dan peralatan keamanan, dan lain-lain.

Model Penyajian pameran.
Demikian pula halnya dengan pengajuan model penyajian ruang pameran di dalam museum, hanya 6 museum yang membuat model penyajian pameran secara lengkap, artinya menyertakan model lama atau eksisting sekarang dengan konsep kronologis dan menawarkan model penyajian baru yang berbeda dengan yang lama, dari pilihan 4 model yang ditawarkan sebagian besar memilih model tematis. Museum yang tetap memakai konsep penjajian lama dengan rata-rata konsep kronologis ada 8 museum, sedangkan hanya 5 museum membuat model yang baru dengan konsep gabungan dan tematis. Dengan demikian dari 30 museum ada 11 museum yang membuat model penyajian pameran yang baru. Ada sedikit catatan konsep penyajian pameran yang dibuat oleh museum-museum tersebut sebagian terlihat dalam denah layout ruang pameran.

Denah layout ruang Pameran.
Dari 30 dokumen ada 14 yang 17 lengkap tidak jelas ada 3. Hanya buat baru saja 5 buat eksisting saja
Alur pengunjung dan sirkulasi
Desain interior dan furniture
Data Pendukung


3.4. Diskusi Kelompok

Di dalam menjaring masukan untuk konsep penyajian pameran tetap museumm maka dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD), yaitu salah satu teknik pengumpulan data kualitatif dari 30 tenaga museum yang berasal dari berbagai jenis museum di Indonesia. Diskusi kelompok ini dipimpin oleh seorang moderator dan dibantu oleh 1 atau 2 orang yang bertugas untuk merekam jalannya diskusi. FGD dimaksudkan untuk membicarakan topik-topik yang dianggap penting terutama dengan materi diskusi mengenai implementasi keempat pendekatan (kronologis, taksonomik, tematik, dan gabungan) dalam penyajian tata pamer pada museum mereka masing.

1. PENGERTIAN FGD
Focus Group Discussion (FGD) adalah salah satu teknik pengumpulan data kualitatif dari sekelompok kedl individu (6-12 orang) yang relatif homogen. Diskusi kelompok terfokus ini dipimpin oleh seorang moderator (biasanya si peneliti sendiri), dibantu oleh 1 atau 2 orang yang bertugas untuk merekam jalannya diskusi. FGD dimaksudkan untuk membicarakan topik-topik yang dianggap penting dalam suatu penelitian.

2. KEGUNAAN FGD

  1. Sangat dianjurkan dalam ‘action research’ dimana interaksi sosial sangat berperan dan bila konteks sosial dianggap penting.
  2. Untuk memperoleh pemahaman tentang daerah/masalah penelitian, utamanya untuk menggali ide-ide baru
  3. Untuk memperoleh pemahaman mengenai dinamika masyarakat, yakni pengetahuan, sikap, persepsi dan kepercayaan (beliefs) mengenai masalah-masalah tertentu baik di masa lampau, sekarang maupun yang akan datang
  4. Untuk memfokuskan penelitian dan memformulasikan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam daftar pertanyaan

Sebelum dilakukan diskusi terbuka dengan seluruh peserta, terlebih dahulu peserta undangan berdiskusi dahulu dalam empat kelompok dengan harapan dapat diperoleh masukan yang efektif. Hasil diskusi kelompok ini dapat diketahui bahwa:

Secara umum, pendekatan gabungan banyak digunakan dalam penyajian materi pada pameran tetap baik pada museum umum maupun museum khusus di Indonesia. Masukan yang menarik dari hasil diskusi adalah pola pembagian ruang pada areal museum juga dipengaruhi oleh tradisi budaya lokal. Salah satu contoh adalah Museum Provinsi Bali yang menggunakan konsep pembagian dari ruang profan sampai ke ruang suci. Konsep pembagian ruang ini diterapkan pada penempatan bangunan yang digunakan untuk ruang pamer, seperti bangunan teben, ruang Sementara pendekatan kronologis, taksonomik, dan tematik digunakan dalam penataan interiornya.

Penyajian pameran tetap dimulai dari arah utara yaitu ruang Tabanan, disini menggunakan tematik, sedangkan dari masing-masing vitrin menggunakan pendekatan taksonomik, karena yang dipamerkan adalah berbagai jenis topeng dalam satu vitrin, ada 3 vitrin yaitu topeng, wayang, dan keris.

Di gedung Karangasem penyajian menggunakan tematik, karena yang dipamerkan berupa perlengkapan upacara yang ada di Bali. Kemudian gedung Buleleng, pada umumnya menggunakan sistem tematik dengan menyajikan kain tradisional Bali baik itu bahan maupun ragam hias, teknik pembuatan dan cara pengerjaannya, seperti kain Gringsing yang menggunakan teknik ikat ganda.

Gedung timur menggunakan sistem kronologis yang dipamerkan dari benda prasejarah sampai zaman sejarah. Dari sistem berburu sampai perundagian. Selanjutnya zaman sejarah yang ditandai dengan pengenalan tulisan, dimulai dari jaman kerajaan sampai dengan kemerdekaan. Di lantai 2 dipamerkan berbagai seni rupa Bali dari zaman klasik sampai dengan zaman modern yang dibawa oleh pelukis-pelukis asing.

Museum Propinsi Kalimantan Barat mempunyai gedung pameran tetap dan pameran temporer. Konsep penyajian museum ini mengacu pada tiga kelompok etnis di Kalimantan Barat, yaitu etnis Dayak, Etnis Cina, dan Etnis Melayu. Penyajian diawali dengan ruang pengenalan dilantai satu, selanjutnya penataan koleksi berdasarkan kelompok klasifikasi, yang terdiri dari historika, heraldika, numismatik dll. Sedangkan di lantai 2 tentang daur kehidupan berupa pendekatan kronologi dari Suku Dayak, Suku Melayu dan Suku Cina. Pengenalan suku dayak, dimulai dari vitrin pernikahan, kelahiran dayak, sunantan dayak, seni tato, vitrin kematian, diorama sandong, perisai, baju dayak, senjata tradisional dayak, ruang panipu (pelaminan dayak), perdukunan, dapur dan peralatan, kemudian dilanjutkan dengan vitrin kehamilan orang melayu, kelahiran, vitrin filologika, ada peralatan melayu, senjata dan alat berburu suku dayak dan hasil tenun ikat dan songket, kemudian dipojokkan ada koleksi dari suku cina, pelaminan melayu. Pendekatan yang berhubungan dengan taksonomik, yaitu vitrin ruang tamu, dapur suku dayak. Setelah ruang 2 selesai kita turun ke ruang keramik.

Penataan untuk jenis museum sejarah, seperti Museum Kebangkitan Nasional lebih tepat menggunakan pendekatan kronologis. Mengenang Budi Oetomo dapat dibagi menjadi 4 penyajian tata pameran yaitu
a. membuat manuskrip yang berkaitan dengan Budi Oetomo
b. foto-foto Budi Oetomo
c. realia Budi Oetomo
d. vandel/lambang yang berkaitan dengan Budi Oetomo

Pendekatan kronologi di museum sejarah yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Susunan tata pameran terdiri dari masa kependudukan jepang, masa proklamasi, dan masa mempertahankan kemerdekaan. Semua itu disusun berdasarkan arah jarum jam.

Pendekatan taksonomik di Museum Propinsi Kalimantan Selatan yaitu ruang tata pamer tetap disusun berdasarkan periode pembuatan lukisan yang keseluruhan koleksi lukisan dibuat oleh 1 orang. Susunan tata pameran terdiri dari periode yogya, periode Sao Paolo (Brazil), dan periode Bali. Pembagian periode ini berdasarkan pada pembuatan lukisan dari awal dibuat. Penyajiannya tidak berdasarkan pada arah jarum jam.

Pendekatan Tematik di Museum Propinsi Sulawesi Tengah. Penyajiannya berdasarkan daur hidup dari kelahiran sampai kematian. Susunan tata pameran terdiri dari Upacara kelahiran, buaian, mokeso (khitanan), pelaminan, pemakaman. Pendekatan ini umum ditemukan di museum-museum.

Pendekatan gabungan pada umumnya akan tampak pada museum propinsi. Storyline yang diambil dari Museum Propinsi Lampung. Susunan tata pameran searah jarum jam yang terdiri dari ruang pengenalan (jenis geologika, dan biologika), masuk ke zaman prasejarah, hindu budha, dan masa islam (arkeologika), masuk ke zaman sejarah (filologika), temuan (Keramologika), kemudian sejarah perjuangan di daerah tersebut (historika), numismatika dan heraldika, teknologi, seni rupa, dan daur hidup manusia (etnografika).

Museum Propinsi Lampung berpendapat bahwa pendekatan penyajian untuk museum propinsi itu yang terjadi memang berdasarkan pendekatan klasifikasi koleksi. Dari pengenalan lingkungan geologika dan biologika, menuju sejarah manusia dari prasejarah sampai dengan kerajaan masuklah arkeologika, kemudian masuk ke filologika, kemudian masuk ke keramologika, dari daerah harus masuk 40% hasil kebudayaan daerahnya maka masuk koleksi etnografika.

Namun demikian, alur cerita yang didasarkan pada klasifikasi tapi harus konsisten, kalau berdasarkan klasifikasi padahal dari masing-masing jenis koleksi itu punya cerita sendiri misalnya kita menempatkan suatu koleksi berdasarkan klasifikasinya maka kita menempatkan seperti apa, kronologiskah? Tematikkah? Atau taksonomik?

Penggunaan pendekatan-pendekatan ini contoh kasus lain di Museum Nasional, gedung lama pendekatannya dilakukan secara klasifikasi koleksi antara lain koleksi sejarah, prasejarah, keramik, peta, dll. Sedangkan di gedung baru menggunakan pedekatan gabungan dari kronologis taksonomik, dan tematik. Contohnya di lantai 1 berdasarkan tematik, yaitu menggambarkan 10 unsur kebudayaan. Namun pada kenyataannya tidak semua unsur kebudayaan bisa ditampilkan hanya 7 unsur saja yang mungkin ada.

Museum Kupang pak dari masuk museum ruang pertama fosil berupa manusia flores, didapat dari manggarai. Selanjutnya senjata dari berbagai daerah, keramik, kain tenun dari beberapa kabupaten, emas, rumah adat dengan pameran dari sumba barat.

Museum NAD Seperti kita ketahui di aceh itu ada 2 gedung yaitu gedung pameran tetap dan gedung rumah aceh. Gedung rumah aceh di dalamnya terdiri dari 3 ruang, pertama ruang depan (seramoke) di ruang tersebut untuk penerimaan tamu pada masa lalu, kemudian ruang tengah terdapat 2 ruang yaitu ruang tempat tidur (kanan) dan ruang pelaminan (kiri), pada masa dulu ruang tidur merupakan tempat istirahat dan untuk acara adatnya ruang pelaminan, diruang tengah terdapat vitrin yang berisi koleksi keramik dari Eropa dan Cina, peralatan shalat, dan peralatan upacara untuk menginang. Ruang belakang (ruang dapur) tempat memasak yang berisi perlengkapan dapur, peralatan pertukangan, peralatan pembuat emas, dan permainan anak-anak. Disebelahnya lagi ada peralatan pertanian dan pertukangan.

Di gedung pameran tetapnya menggunakan pendekatan gabungan kami tidak menggunakan peralatan upacara pemakaman. Gedung pameran tetap terdiri dari 4 lantai yaitu:
a. Lantai 1 mengenai batu-batuan zaman dahulu, koleksi flora fauna di aceh
b. Lantai 2 untuk alat berburu dan mata pencarian
c. Lantai 3 untuk koleksi etnografi dan sejarah
d. Lantai 4 untuk koleksi tekstil dan sebagian peralatan menginang tempat sirih, juga seluruh etnis yang ada di aceh, perhiasan yang ada di aceh
Kemudian turun lagi ke lantai 1 menemukan ruang koleksi filologika, heraldika, numismatik.
Di ruang lantai 1 jalur keluar ditambahkan dengan koleksi dari malaysia.

Kesimpulan pada akhir diskusi
Disampaikan bahwa dalam penyusunan konsep penyajian yang terpenting adalah mengacu pada visi misi museum. Kemudian karakter museumnya, apa identitas dari museum kita, baru memilih koleksinya. Ada kebiasaan kita cenderung untuk menampilkan semua koleksinya. Setelah ditentukan maka ada kajian, disitu pentingnya museum. Kita perlu research dari yang mentah sampai matang sebelum tampil ke publik. Setelah informasi dikaji maka informasinya akan semakin kuat dan berkualitas. Setelah sampai kepada publik maka publik tahu makna dibalik koleksi tersebut sehingga setiap museum akan berbeda karena visi dan misi museum juga berbeda. Selanjutnya mengikuti dinamika pengunjung. Maka tidak pernah ending untuk kerja di museum.


(Lihat Bagian 4)


Tinggalkan komentar

Kategori