Oleh: museumku | 25 Agustus 2012

Kajian Model Pewarisan Nilai Budaya bagi Pelajar melalui Fungsi Museum (Studi Kasus di Museum Sri Baduga Jawa Barat)


Oleh: Yunita Iriani Syarief


Abstract

West Java Community has plenty of culture values, include local wisdom which documented and preserve at museum. If the community could use those values appropriately it will be useful for them especially to face the negative impact globalization, such as morale and nation norm degradation. Local wisdom will lead the community to have self integrity, pro globalization, however could screen and choose foreign culture which match with their own culture and will enrich them self to positive direction.Formal and informal education have a problem to internalize values, and ignorance the affective domain side of pupils. Museum as a informal education institution has a incredible potency and have a big opportunity to be “bridge” for the school to internalize affective domain which become the goals of education if manage and use in effective and efficient ways, however its marginalize and hegemonies by cognitive domain.At the moment the government realizes that matter and made a priority policy: National Campaign of Love Museum and National Campaign of Character Education Nation Culture. Ministry of Culture and Tourism become the vocal point for the National Campaign of Love Museum; meanwhile the Ministry of education is leading sector for National Campaign of Character Education Nation Culture. The next question, does the two campaign will work in synergist?. Synergetic and work together is condito sine qua non to achieve the success for both of the campaign above. Both of the campaign has strong relation. For example, National Campaign of Love Museum has a target which dominated by the pupils and museum has the substantives and potency of character education. The character building education requires a time trough value internalization, cultures, and habituation. By doing that the character expected could be built.

At current situation, the pupils only visited museum between 1-2 times in once sequence of their education time (e lementary, junior, and high school). The visited time only gave the pupils opportunity 1- 2 hours. As a comparison, the pupils who’s are follow the education at school ( around 7 hours a day or less than 30% from the 24 hours ) if seen from the quantity aspect time assumed only has a contribution 30% for the result of pupils character. The rest (70%), assumed that family and environment has responsibility to their character building. If the situation like that, how can museum could succeed to implement the value internalization eventhough the museum’s public programs are excellent enough.

This essay try to asses the model and develop the model of heritage culture values trough museum fuction ( study, education, and enjoyment) for the pupils to harmonize-sinergys with other education option ( formal and informal) and also to contribute to overcome values moral and culture degradation which hamper the nation.

Keys Words: culture, value heritage, museum functions, pupils, and school


I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu nation-state yang majemuk dan terbesar di dunia. Kebenaran pernyataan ini dibuktikan oleh kenyataan sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Secara geografis, Indonesia terdiri atas 13, 667 pulau baik yang dihuni maupun tidak. Secara etnik, terdapat 358 suku bangsa dan 200 sub suku bangsa (Yaqin, 2005: 4). Dari aspek bahasa, terdapat tiga bahasa utama dan 300 bahasa dialek (Cummings, et, al, tt: 169).

Penduduknya berjumlah 237,6 juta jiwa (Daminik, Kompas.com, 2010), yang menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.

Selain itu, Bangsa Indonesia juga memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumberdaya Alam serta Sumberdaya Budaya yang luar biasa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dalam SDM, berbagai prestasi ilmiah (olimpiade) berskala dunia pernah di raih, prestasi olah raga, penghargaan karya sastra, dan kaum cerdik cendikia bangsa yang diakui dunia. Segelintir anak bangsa menunjukkan kegigihan dan ketauladanannya, berdedikasi tinggi, tulus, ikhlas, tanpa pamrih. Demikian pula halnya dengan potensi alam dan budaya yang juga dilirik dunia (beberapa telah masuk ke dalam World Heritage/Warisan Dunia) dan mewarnai kehidupan bangsa dan negara ini. Bahkan hasil penelitian Santos (2005), seorang geolog dan fisikawan Brazil selama 30 tahun menyimpulkan bahwa wilayah Indonesia adalah pusat peradaban dunia karena di sinilah letak Benua Atlantis yang hilang. Demikian pula yang dikatakan oleh seorang dokter ahli genetika, Oppenheimer (1999) dalam bukunya “Eden in East”, bahwa masyarakat Indonesia merupakan leluhur Ras Austronesia, kita mewarisi genetika masyarakat Atlantis yang telah demikian maju.

Indonesia, khususnya Jawa Barat kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan peristiwa bersejarah yang seyogyanya menjadi pembelajaran dan ispirasi bagi generasi kini dalam mengisi kemerdekaan dan turut serta menciptakan situasi kondusif dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan kapasitasnya (be a good citizen). Artinya, Indonesia sangat potensial untuk menjadi negara yang maju, kuat dan sejahtera, serta adil dan makmur. Hal tersebut, sesuai dengan cita cita NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang tercantum pada UUD Tahun 1945, yakni: RI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Akan tetapi bila melihat fenomena yang terjadi saat ini, sangat berbeda dengan kondisi yang diharapkan. Terjadi degradasi nilai-nilai budaya di masyarakat. Kasus KKN marak di berbagai lini kehidupan bernegara, tingkat kriminalitas (perkosaan, perampokan, pembunuhan, mutilasi, terorisme, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat (drug abuse) yang tinggi. Selain itu, beberapa kasus berindikasikan Sara (Suku, ras dan agama) yang berujung pada disintegrasi bangsa menghiasi kehidupan kita sehari-hari. Bahkan lembaga peradilan dan kepolisian yang bertugas menegakkan hukum dan peraturanpun dipenuhi dengan oknum-oknum yang melakukan skandal suap dan mafia peradilan.

Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Dengan rincian, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com).

Alwasilah mengatakan bahwa bangsa ini kini sedang menderita sejumlah penyakit sosial, yaitu: Korupsi Kolusi, Nepotisme (KKN), pemalsuan ijazah, kekerasan dan tawuran, lemahnya nasionalisme, dan sejumlah pelanggaran lainnya (Pikiran Rakyat, 5/1/09). Penilaian Chaedar tidak berbeda dengan penilaian pakar-pakar lainnya, dan bahkan masyarakat awam sekalipun memiliki penilaian yang sama bahwa bangsa dan negara kita tengah dilanda multi krisis yang berkepanjangan.

Hampir sepuluh karakteristik negatif yang dirumuskan oleh Thomas Lickona (1992) terjadi dan mengemuka di negara ini, yakni: 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) penggunaan bahasa yang buruk; 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri ( penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, serta bunuh diri); 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) semakin menurunnya etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) semakin rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warganegara; 9) membudayaakan ketidakjujuran; 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.

Mengapa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan yang di harapkan? Kesenjangan antara harapan dan kondisi yang ada (situational condition) mengindikasikan adanya penanganan yang salah dalam pengelolaan budaya berbangsa dan bernegara. Apa yang salah, dimana letak kesalahannya, bagaimana membenahi kesalahan tersebut, tanggungjawab siapa sajakah kesalahan ini, dan kontribusi apa yang dapat dilakukan agar proses pemberian tongkat estafet pewarisan nilai-nilai pada generasi muda (pelajar/peserta didik) dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara berlangsung lancar untuk di bawa dan diteruskan lagi pada generasi berikutnya?.

Nilai moral dan ahlak adalah urusan mentalitas dan nampaknya memang menjadi salah satu problematika kehidupan bangsa yang penting di abad 21 ini. Susanto menyebutkan dalam era globalisasi yang terbuka ini, terpaan informasi sangat memungkinkan seseorang mengadopsi nilai-nilai, pengetahuan, dan kebiasaan luar lingkungan sosialnya dan jauh dari jangkauannya secara fisik (1998:27). Hal yang lebih parah adalah, saat nilai-nilai yang diadopsinya tidak sesuai dengan kultur ketimurannya, akar budaya dan norma agamanya.

Masalah mentalitas Sumber Daya Manusia (SDM), tentunya tidak lepas dari urusan pendidikan. Seperti dikemukakan Ibrahim bahwa:

“Konflik- konflik yang muncul di tanah air akhir-akhir ini sangat terkait dengan aspek sosial budaya, dan agama…hal ini disebabkan karena lemahnya peran pendidikan yang menanamkan nilai kebersamaan dan solidaritas sosial dalam era pluralitas. Membangun nilai kebersamaan dan solidaritas social bukanlah pekerjaan mudah, tetapi menuntut pendidikan nilai yang dilakukan secara terus menerus dengan penjiwaan setiap orang “(2007: 3-4)

Ada tiga hal pokok dalam pernyataan Ibrahim, bahwa persoalan yang dihadapi bangsa kita tidak berdiri sendiri, bahwa penyebabnya adalah lemahnya peran pendidikan nilai, dan yang terakhir adalah bahwa penanaman nilai membutuhkan waktu, proses yang terus menerus dan berkesinambungan.

Dalam konteks tanggungjawab bersama ini, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara menyebutkan tentang “Tri Centre Pendidikan”, yaitu: keluarga (informal), masyarakat (non formal) , dan sekolah (formal). Ke tiga jalur pendidikan tersebut haruslah seimbang dan terintegrasi, saling menunjang antara satu dan lainnya. Tanpa kerjasama yang baik diantara ke tiga nya, maka mustahil pendidikan akan berhasil efektif sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Melalui pintu inilah kalangan pendidikan formal dapat memanfaatkan museum untuk memperkaya sarana dan sumber pembelajaran di sekolah, utamanya dalam hal penanaman nilai-nilai. Lebih rinci mengenai museum dikatakan Lord, bahwa:

“…..Museum are complex cultural institutions uniquely concerned both with collecting and preserving the material cultural heritage, and at the same time communicating its meaning_ whether that meaning arises from works of art, archaelogical, and historical artifacts of scientific specimens” (2000:3).

Museum memiliki potensi untuk membekali generasi muda bangsa dengan mentalitas yang baik, melalui penggalian (value exsplore), dan pentransformasian, serta internalisasi nilai-nilai luhur/ kearifan lokal (lokal wisdom) yang terdeposit dalam tinggalan budaya generasi pendahulu, yang oleh Lord disebutkan dapat berasal dari hasil karya seni, tinggalan arkeologi, dan artefak sejarah dari ilmu pengetahuan. Suatu nilai yang intangible (tidak tersentuh), abstrak, namun sangat bermanfaat untuk membentengi bangsa ini dari dampak negatif era globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini agar tidak mudah terjerumus dan terpengaruh terhadap hal-hal negatif yang datang dari Barat. Dengan demikian, masyarakat akan dapat memilih serta memilah mana budaya yang dapat diadaptasi dan mana yang tidak.

Di saat jalur pendidikan formal dan informal bermasalah dalam menginternalisasikan nilai-nilai, atau mengabaikan ranah afektif siswa, maka museum sebagai institusi pendidikan non formal memiliki potensi luar biasa berpeluang sangat besar untuk internalisasi dunia afektif yang menjadi tujuan pembelajaran –namun termarjinalkan dan dihegemoni oleh ranah kognitif — apabila dikelola dan dimanfaatkan efektif dan efisien.

Berlatar belakang permasalahan tersebut di atas, dan didasari oleh kepeduliaan serta keprihatinan penulis terhadap degradasi nilai budaya yang melanda bangsa dan negara ini, terutama generasi mudanya, maka penulis memilih untuk mengkaji pendidikan nilai budaya melalui museum dengan judul “ Kajian Model Pewarisan Nilai Budaya Bagi Pelajar Melalui Fungsi Museum (Studi Kasus di Museum Sri Baduga Jawa Barat) .

Museum Sri Baduga merupakan salah satu museum provinsi (umum) yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Jalan BKR no 185 Bandung. Museum ini diresmikan pada tanggal 5 Juni 1980 oleh Mendikbud saat itu, DR. Daud Yoesoef. Nama “Sri Baduga” diberikan sepuluh tahun kemudian. Nama tersebut merupakan gelar seorang Raja Padjadjaran yang memerintah sekitar abad XV, tertera pada prasasti Batutulis Bogor.

Diharapkan hasil kajian akan dapat menjembatani antara tugas pokok, fungsi dan peran museum sebagai institusi pendidikan non-formal (?) dengan kebutuhan sekolah sebagai institusi pendidikan formal dan keluarga sebagai institusi pendidikan informal di dalam menanamkan nilai nilai afeksi kepada peserta didik, atau pelajarnya. Pendek kata, agar diperoleh sinergitas yang saling memperkaya dan melengkapi sehingga amanah UUD 45 dan tujuan pendidikan nasional dapat segera terwujud.

B. Tujuan
Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas, kajian ini bertujuan untuk:

  1. Mendeskripsikan model pewarisan nilai-nilai budaya yang telah diupayakan museum melalui fungsi-fungsinya (pendidikan, penelitian, dan rekreatif) bagi pelajar.
  2. Menganalisis keunggulan dan kelemahan dari model pewarisan nilai-nilai budaya yang telah diupayakan museum melalui fungsi-fungsinya bagi pelajar.
  3. Mengembangkan model pewarisan nilai-nilai budaya melalui fungsi museum bagi pelajar agar dapat sinergis dengan jalur pendidikan lainnya ( formal dan informal) untuk ikut berperanserta dalam mengatasi degradasi nilai-nilai moral dan budaya yang melanda bangsa ini.

 


II. Pembahasan

A. Pengertian-pengertian
Pewarisan
Pewarisan dalam kontek nilai (budaya, nilai kejuangan, nilai-nilai kepemimpinan, nilai-nilai 45, dan lain sebagainya) yang bersifat abstrak, intangible (pusaka tak benda) dalam istilah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikenal juga sebagai pelestarian yang diartikan sebagai terus ada, terus hidup, still existence, enternally. Pelestarian berarti suatu usaha dan kegiatan mewujudkan terus adanya atau kelangsungan hidup sesuatu yang diinginkan. Apabila yang dimaksud adalah nilai, maka upaya diarahkan untuk mewujudkan kelangsungan hidup (adanya) suatu nilai (Pusbintal, 1978:25). Konsep yang dianut oleh Institusi pendidikan ABRI, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dalam hal pelestarian atau pewarisan nilai, yang juga dimaknai sebagai transformasi, internalisasi, atau sublimasi dalam penerapannya pada kehidupan sosial nyata dilakukan dengan cara–cara: imitasi (menghadirkan model), edukasi, komunikasi, dan sosialisasi.

Dalam konteks penulisan, pewarisan dimaksud adalah proses, cara, perbuatan, mewariskan nilai-nilai budaya dan kesejarahan. Istilah pewarisan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan istilah lain sejenis, seperti transformasi, pendidikan, internalisasi, sublimasi yang inti dari tujuan utamanya adalah penambahan pengetahuan, pembentukan karakter, dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.

Nilai dan Nilai Budaya
Darmadi mendefinisikan nilai ( value) yang dikutip dari Fraenkel (1981), sebagai berikut:

”value is idea, concept about what someone thinks is important related to aesthetics, ethics…How people behave and conduct…Standar of conduct, veaty, efficiency or worth that people endorse and that peole to live up or maintain….quitain to what is and just…Means end ends of behavioral or norms…Is a powerfull emotional commitment…”.

Dikatakan juga bahwa value ini adanya dalam ”People’s minds” (angan-angan manusia) serta berlainan dengan lainnya (seseorang dengan lainnya, kelompok dengan lainnya) (2007: 27)

Sementara kebudayaan, di definisikan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan berpola, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1983:182). Kebudayaan merupakan suatu cara adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Ciri suatu tekanan lingkungan yang spesifik berperan sebagai pemicu timbulnya perubahan kebudayaan (Clide,1951:35). Makmur (2011), mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung sistem pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang diterima oleh masyarakat. Artinya, nilai budaya adalah upaya yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seluruh aktifitas manusia. Koentjaraningrat (1989) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai, berharga, dan paling penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat.

Sebagai konsep, nilai budaya bersifat umum, memiliki lingkup luas, tidak kongkret, sehingga berada dalam ranah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan, dan berakar dalam alam jiwa mereka. Nilai budaya yang kerap disebut juga sebagai nilai kearifan local (local wisdom) terbentuk melalui proses penginternalisasian nilai-nilai dengan ekpresif, progresif, dan integratif (Makmur, 2011). Hal ini yang di bidang permuseuman diistilahkan sebagai pewarisan atau bimbingan edukasi atau “program publik”. Tidak keliru bila disebutkan bahwa museum melayani masyarakat dan perkembangannya, karena nilai budaya bersifat relatif dan dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat yang memperoleh pengaruh dari budaya lain sebagai dampak dari adanya interaksi.

Pelajar
Kata pelajar dalam judul kajian diambil dari klasifikasi jenis pengunjung yang datang ke museum, yakni kelompok pelajar (dari TK s/d SMA), selain mahasiswa, pengunjung umum, dan pengunjung asing (turis mancanegara).

Museum dan Fungsinya
Definisi museum yang selama ini dijadikan acuan dunia global menurut rumusan Elevent General Assembly of Intenational Council Of Museum (ICOM) tahun 1974 terus berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kini definisi yang digunakan merupakan hasil dari Konferensi Umum ICOM ke-21 di Wina, Austria (2007). ICOM melengkapi definisi museum dengan kata “the tangible and intangible heritage of humanity and its environtment”, sehingga lengkapnya menjadi :

“A museum is a non-profit, permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purposes of education, study and enjoyment”.

Penambahan kata “the tangible and intangible heritage of humanity and its environtment” tentunya bukan tanpa makna. Nampaknya hal tersebut dimaksudkan untuk menekankan pentingnya adanya keseimbangan ke dua jenis nilai tersebut untuk diungkapkan dalam menjalankan fungsinya. Salah satu masalah pengelolaan museum di Indonesia yakni masih menggunakan paradigma lama, berorientasi terhadap bendanya. Rupanya, hal ini juga menjadi masalah museum-museum di dunia. Penambahan kata “environment” juga menunjukkan kepedulian asosiasi museum dunia terhadap perkembangan lingkungan dan masyarakatnya yang saat ini berada dalam kondisi “global warming”. Kondisi yang memunculkan aksi-aksi “ save our planet”, “save our world”, “ go green”. “back to nature”, dan lain sebagainya.

Mengenai fungsi museum dalam Encyclopaedia Americana disebutkan bahwa “Museum is institutions serving the three main functions of collection, preservation, and presentations of objects” (Museum adalah institusi pelayanan dengan tiga fungsi pokok, yakni mengumpulkan, melindungi, dan memamerkan koleksinya). Sementara itu di Indonesia, definisi museum yang digunakan mengacu pada definisi museum versi ICOM, bahwa:

“Museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelastarian kekayaan budaya bangsa” (Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1995).

Pemanfaatan dimaksud adalah, tiga fungsi museum yang disebut dalam definisi menurut ICOM, yakni fungsi pelayanan untuk tujuan: pendidikan, penelitian, dan kesenangan. Pemanfaatan dalam konteks yang lebih luas adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya).

B.Kebijakan Nasional di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Dalam acuan yuridis formal NKRI tertinggi, yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 45) disebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban memberikan hak kepada setiap warganegara-nya untuk memperoleh pendidikan dan negara juga berkomitmen memajukan kebudayaan serta menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Rosidi (2004) mengatakan dan mempertanyakan, bahwa: pendidikan, formal atau tidak dan dimanapun adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. Namun bagaimana halnya dengan pendidikan di kita? menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak? Mengapa tidak memperkuat dan memperkembangkan budaya bangsa? Mengapa anak-anak kita setelah bersekolah malah meninggalkan budaya leluhurnya sendiri? Mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar? Mengapa budaya asli kita tidak dapat menahan banjir bandang globalisasi?

Apa yang dikemukakan Rosidi merupakan ekspresi kesadaran bahwa ada hal yang keliru di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan ungkapan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengenai landasan praktek pendidikan yang dianggapnya kurang tepat untuk kondisi wilayah kita selama ini, bahwa:

“Disadari bahwa diantara kita ada miskonsepsi seolah-olah sistem pendidikan yang terbaik adalah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Barat, sehingga seringkali kita menelan mentah-mentah konsep Barat, tanpa sikap kritis. Diantara kita selama ini silau dengan sistem pendidikan Barat sehingga buta terhadap keunggulan lokal yang lama terpendam dalam bumi kebudayaan Indonesia” (Alwasilah, 2009:6).

Kemudian dicontohkan bagaimana kini ekonomi Amerika dengan paradigma kapitalis dan pasar bebasnya terancam roboh, dan bagaimana Jepang dan China yang kokoh mempertahankan budayanya, kearifan lokalnya, kini menjadi negara yang ekonomi dan teknologinya perkasa hingga dikagumi dunia.

Kesadaran tersebut ditindaklanjuti dengan komitmen untuk menjadikan etnopedagogi sebagai metode atau paradigma yang melandasi praktek pendidikan di Indonesia dengan ihwal bahwa setiap etnis di Indonesia kaya dengan local genius atau local wisdom. Landasan ilmiah pendidikan dan pendidikan guru pun di reorientasi untuk menjamin hadirnya proses dan output pendidikan yang konsern terhadap nilai nilai kemanusiaan. Isu-isu yang dikaji secara komprehensi-reflektif dikemukakan Alwasilah (2009:14), mengenai: Bagaimana pendidikan dan kebudayaan harus dihubungkan sehingga proses dan hasil pendidikan membantu perkembangan peserta didik menjadi pribadi dewasa yang dapat bertanggung jawab secara sosial, budaya, dan moral; dan bagaimana core values kebudayaan Indonesia (dan daerah) dirumuskan dan dihubungkan dengan pendidikan melalui pengorganisasian kurikulum yang berlandaskan nilai-nilai agama dan kebudayaan.

Sebenarnya, sejak awal kemerdekaan pemerintah sudah menyediakan sarana pendidikan budaya melalui museum sebagai salah satu institusi penting dalam pembangunan kebudayaan bangsa. Seperti dikemukakan dalam proposal Pertemuan Kepala Museum Seluruh Indonesia, 2011 (Blog Direktorat Museum) bahwa:

“Museum didirikan untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, dan juga sebagai sarana pendidikan non-formal (?). Oleh karena itu, pemerintah menganggap bahwa museum menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan, dan pengembangannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan politik di bidang kebudayaan”.

Akan tetapi, nampaknya museum jarang sekali dimanfaatkan oleh sekolah ( jalur pendidikan formal) dalam bentuk suatu kerjasama yang sinergis dan berkelanjutan.

Pendidikan sendiri bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU RI No.20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/Sidiknas). Artinya, tujuan pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, akan tetapi dalam prakteknya lebih dihegemoni oleh ranah kognitif semata.

Masalah yang tidak kalah penting adalah konsekuensi Otonomi Daerah (Otda) yang memisahkan bidang kebudayaan –yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal– dari Pendidikan. Dikemukakan Tilaar (Kompas, 17/01/2010) bahwa: “ Waktu kebudayaan dipisahkan dari pendidikan dan masuk ke pariwisata, itu artinya kebudayaan dijadikan hanya sebatas komoditas, tetapi, kita diam saja”. Padahal menurutnya, kebudayaan adalah dasar pembentukan watak manusia Indonesia. Ki Hajar Dewantoro telah mengingatkan sejak tahun 1932 bahwa tujuan pendidikan antara lain memajukan dan mengembangkan kebudayaan untuk menuju pada keluhuran hidup dan kemanusiaan. Sama halnya dengan Rosidi (2004: 5) yang mengatakan:

“Pemerintah sekarang menganggap penting kebudayaan hanya dalam hubungannya dengan pariwisata yang ujung-ujungnya dalam upaya mengait dolar, maka sedikit harapan akan adanya upaya pengembangan kebudayaan dan kesenian untuk kepentingan mempertinggi derajat bangsa seperti dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945”.

Semestinya walau terkait kebijakan Otda, dalam tataran implementasi, pendidikan dan kebudayaan sama sekali tidak dipisahkan. Pendidikan yang dipisahkan dari kebudayaan hanya akan menghasilkan manusia pintar yang tidak berbudaya seperti fenomena yang kita alami kini. Respon pemerintah terhadap hasil evaluasi kinerjanya dan fenomena yang terjadi di masyarakat ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan dan tindakan, dengan klimaks hasil resufle kabinet yang menyatukan kembali bidang pendidikan dan kebudayaan dalam satu kementrian dan hal lain, diantaranya:

1. Bidang Pendidikan
Pendidikan Karakter (PK) dijdikan sebagai salah satu program prioritas Nasional. Ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, PK sebagai landasan mewujudkan visi pembangunan nasional. Tertera sebagai misi pertama, yakni “ mewujudkan masyarakat berahlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”. Agar diperoleh peningkatan dalam kesesuaian dan outcomes mutu pendidikan karakter, Kemendiknas mengembangkan grand design PK, sebagai berikut:

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa:

1). Berkelanjutan: Nilai-nilai dasar pendidikan karakter seharusnya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age). Usia emas terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Maka sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, akan menjadikan seorang anak cerdas emosinya (EQ), spiritual (SQ), Sosial, dan Adversity nya. Hal ini juga sama dengan konsep pengembangan kurikulum agar berkesinambungan dan dilakukan sepanjang hayat “ long life education”.

2).Melalui Semua Mata Pelajaran, Pengembangan diri, dan Budaya Sekolah
“Values also are part of hidden curriculum…Values education goes on all the time in school, day to day interaction of student and staff……the student pick up values and moral in their every day living….and man has developed admirable morality, and it’s powerfull in the word more than Nuclear Bom; morality and humanitarian values”. (Jack R. Fraenkel : 1981).

Fraenkel dan banyak ahli lain mengemukakan bahwa nilai adalah bagian dari kurikulum tersembunyi, berlangsung di sekolah melalui interaksi dalam pergaulan di sekolah. Nilai terintegrasi dalam semua bidang studi, manajemen sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler, dan semestinya menjadi budaya sekolah yang berkarakter. Pemahaman ini penting, karena selama ini kondisi pendidikan kita dihegemoni oleh ranah kognitif. Bila menggunakan acuan 4 pilar pendidikan yang digulirkan UNESCO, kita baru berada dan berhenti di dua pilar pertama, yakni: Learning to know, dan learning to do. Belum sampai di tataran berikutnya, yakni: learning to be dan learning how to live together.

3). Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan: materi nilai –nilai budaya dan karakter bangsa bukan bahan ajar biasa, artinya tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran (IPA, IPS, Matematika, dan seterusnya). Materi pelajaran digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa. Guru menggunakan materi pokok bahasannya untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dan memanfaatkan suatu aktivitas belajar untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

4) Proses Pendidikan dilaksanakan secara aktif dan menyenangkan: Salah satu dari lima pilar belajar yang harus ditegakkan, yaitu: belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam Sisdiknas bahwa pendidikan adalah: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya…”. Kata yang digarisbawahi harus dikondisikan sedemikian agar peserta didik terpanggil dan aktif untuk mengembangkan potensi dirinya.

Banyak pendekatan yang digunakan oleh para pakar dalam mengembangkan pendekatan Pendidikan Nilai. Di antara berbagai pendekatan yang ada dan sering digunakan, yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.

Timo Teweng mengenai penanaman pendidikan nilai (2005) berpedapat bahwa pendidikan nilai tidak sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup. Antara kata dan perbuatan harus sinkron, sejalan. Ia juga mengatakan bahwa pendidikan nilai pasti gagal total bila pelanggaran- pelanggaran moral masih terus berlangsung. Penanaman pendidikan nilai harus ditunjukkan melalui sikap-perbuatan yang kongkret. Ini dikarenakan, pewarisan nilai harus seutuhnya melalui moral knowing, moral feeling, dan moral action. Untuk dapat mencapai cita-cita negara, tentu harus didukung oleh warga negara berkarakter yang dipersiapkan sejak dini. Generasi muda yang berkarakter hanya dapat dihasilkan oleh lingkungan yang berkarakter pula.

2. Bidang Kebudayaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-2 periode tahun 2010 – 2014 ditujukan untuk lebih menekankan pemantapan nilai-nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya dan karakter bangsa. (Renstra Kemenbudpar 2010). Kebijakan tersebut ditempuh karena hasil rumusan permasalahan yang muncul bidang kebudayaan pada periode ke-1 (tahun 2005 – 2009) pelaksanaan RPJPN adalah: Lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya, Terjadinya krisis jati diri (identitas) nasional, Kurangnya kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan yang tidak kasat mata (intangible).

Dengan demikian pengelola bidang kebudayaan yang bervisikan “Terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jati diri dan karakter bangsa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, berorientasi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dalam menentukan program kegiatannya. Dalam rangka melaksanakan arah kebijakan Peningkatan Kesadaran dan Pemahaman Jati Diri dan Karakter Bangsa, maka strategi diarahkan dengan :Peningkatan internalisasi nilai-nilai budaya yang mendukung pembangunan karakter dan pekerti bangsa, Peningkatan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai tradisi, Peningkatan pemberdayaan komunitas adat, Peningkatan internalisasi kesejarahan dan wawasan kebangsaan.

Permuseuman merupakan salah satu bagian yang bertanggungjawab di dalam pembangunan budaya. Dalam rangka menempatkan museum pada posisi strategisnya, pemerintah pusat melalui Direktorat Museum, membuat program gerakan bersama dalam hal penguatan pemahaman, apresiasi dan kepedulian akan identitas dan perkembangan budaya bangsa yang harus terbangun pada tataran semua komponen masyarakat bangsa Indonesia baik dalam skala lokal, regional maupun nasional. Lahirlah dua program prioritas, yakni: Revitalisasi museum dan Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) .

Revitalisasi adalah program yang berupaya untuk meningkatkan kualitas museum dalam melayani masyarakat sesuai dengan fungsi museum, yang pada akhirnya museum Indonesia menjadi museum yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Museum diharapkan dapat menjadi tempat yang dirasakan sebagai kebutuhan masyarakat untuk dikunjungi bersama. Aspek Aspek yang direvitalisasi di bidang permuseuman: Fisik, Manajemen, Marketing, Program, Jejaring, Kebijakan, dan Pencitraan. Sementara GNCM, merupakan upaya penggalangan kebersamaan antar pemangku dan pemilik kepentingan dalam rangka pencapaian fungsionalisasi museum guna memperkuat apresiasi masyarakat terhadap nilai kesejarahan dan budaya bangsa. Tujuan GNCM adalah terjadinya peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap nilai penting budaya bangsa, semakin kuatnya kepedulian dan peranserta pemangku kepentingan dalam pengembangan museum, terwujudnya museum sebagai media belajar dan kesenangan yang dinamis dan atraktif bagi pengunjung, terwujudnya museum sebagai kebanggaan publik, terwujudnya kualitas pelayanan museum, dan peningkatan jumlah kunjungan ke museum. (Blog Ditmus, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Label: GNCM).


C. Model Pewarisan Nilai Budaya di Museum Sri Baduga

Potensi Museum Sri Baduga
Museum Sri Baduga didirikan dilahan yang berdampingan dengan sebuah bangunan lama bekas Kawedanaan Tegallega. Pembangunan fisik gedungnya sudah dilakukan sejak tahun 1974 dengan mengacu pada bentuk rumah tradisional Jawa Barat, yakni bangunan rumah panggung beratap suhunan panjang yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Gedung ini di bangun di atas tanah seluas 8415,5 meter. Sementara bangunan Kewedanaannya tetap dipertahankan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB). Di era otonomi derah, museum yang sebelumnya merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat, menjadi UPT Dinas Pariwisata dan Kebudayaan .

Museum Sri Baduga adalah Museum Umum karena koleksinya merupakan kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan lebih dari satu cabang ilmu atau teknologi, yaitu terdiri atas 10 klasifikasi yang didasarkan pada cabang-cabang ilmu tertentu. Benda yang dikoleksi oleh museum adalah benda-benda alam (natural material) dan benda budaya (cultural material). Hingga tahun 2008 Museum Sri Baduga telah berhasil mengumpulkan 6,596 buah koleksi benda-benda tinggalan sejarah alam dan budaya Jawa Barat dengan rincian klasifikasi sebagai berikut: Geologika/ Geogrfika: 79 buah, 3 set; Biologika: 180 buah, satu set; Etnografika: 2420 buah, 175 set; Arkeologika: 953 buah, 3 set; Historika: 18 buah, 8 set, 3 stel; Numismatika/Heraldika: 1705 buah; Filologika: 145 buah; Keramologika: 625 buah, satu set; Senirupa: 130 buah, 2 pasang dan Teknologika: 115 buah, 27 set.

Sarana yang tersedia, di antaranya: ruang pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang auditorium, perpustakaan, laboratorium/konservasi, storage, bengkel preparasi, ruang administrasi, panggung terbuka (open stage), mushola, kantin/cafetaria, ruang keamanan, dan toilet. SDM museum seluruhnya berjumlah 44 orang dengan rincian sebagai berikut: Satu orang kepala museum, 3 orang eselon 4 (dua kepala seksi dan satu kasubag) , 15 Orang tenaga fungsional pamong budaya (5 orang pamong budaya ahli, dan 10 orang pamong budaya trampil), sisanya, 25 orang adalah tenaga fungsional umum.

Museum Sri Baduga menata koleksinya dalam tiga lantai, selain beberapa koleksi yang dipamerkan “outdoor”. Pada lantai pertama, berlatar belakang pemikiran bahwa kebudayaan adalah proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya, maka ditampilkan potensi kekayaan alam Jawa Barat, meliputi flora dan fauna, serta kandungan mineral berupa batuan dan bahan galian yang dimiliki oleh wilayah ini. Dilengkapi dengan manusia prasejarah hasil temuan dan penelitian sebagai aktor pentas sejarah budaya Jawa Barat. Penataan selanjutnya menggunakan pendekatan 7 unsur kebudayaan universal yang diawali dengan religi, kepercayaan masyarakat Jawa Barat dari masa ke masa (Animisme, Dinamisme, Hindu, dan Budha). Memasuki lantai ke dua, sajian dilanjutkan dengan budaya Islam, Kong Hu Chu, Taoisme, dan Kristen. Kemudian beralih ke tema unsur bahasa, sistem pengetahuan dan peralatan hidup. Dilantai tiga menampilkan beragam jenis peralatan mata pencaharian, peralatan teknologi tradisional dan kesenian, serta pakaian perkawinan adat di beberapa daerah yang mewakili wilayah Jawa Barat. Saat ini Museum Sri Baduga tengah melakukan renovasi tata pamerannya dengan menambahkan pojok Sri Baduga Maharaja melalui dana revitalisasi museum (APBN). Penataan sebelumnya di Lantai 1 yang baru direnovasi pada tahun 2007 pun dibongkar lagi untuk keperluan tersebut.

Visi, Misi, dan Tugas Pokok dan Fungsi
Visi Museum Sri Baduga ditentukan sebagai pusat dokumentasi, informasi, dan media pembelajaran, serta obyek wisata budaya unggulan Jawa Barat. Pernyataan dengan cara apa museum mewujudkan visinya, dirumuskan dalam 5 buah misi, sebagai berikut:

  • Mengumpulkan, meneliti, melestarikan, dan mengkomunikasikan benda tinggalan budaya Jawa Barat kepada masyarakat;
  • Mengembangkan/memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai luhur budaya daerah;
  • Meningkatkan fungsi museum sebagai laboratorium budaya daerah dan filter terhadap pengaruh buruk budaya global;
  • Menanamkan nilai-nilai luhur budaya daerah;
  • • Menata museum sebagai salah satu aset wisata budaya (Sumber Internal Museum Sri Baduga).

Sementara itu, tugas pokok Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 64 Tahun 2002 yang menggantikan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.001/0/1991 adalah melaksanakan sebagian fungsi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di bidang Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga (Bab II, pasal 2, ayat 3)

Dalam pengelolaan museum, diselenggarakan kegiatan-kegiatan perawatan/pelestarian, perekaman dan teknis penyajian koleksi, serta bimbingan edukatif kultural kepada masyarakat. Selain itu, dilakukan pula pemasaran dan pengembangan museum dalam rangka pengembangan nilai-nilai budaya daerah dan peningkatan apresiasi.

Praktek pelaksanaan secara lebih rinci yang seharusnya dilakukan museum meliputi kegiatan-kegiatan:

  • Melakukan pengumpulan, perawatan, pengawetan, dan pengkajian benda yang mempunyai nilai budaya dan ilmiah;
  • Melakukan urusan perpustakaan dan dokumentasi yang ilmiah;
  • Memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil penelitian koleksi benda yang mempunyai nilai budaya dan ilmiah;
  • Melakukan bimbingan edukatif kultural mengenai koleksi berupa benda-benda material hasil budaya manusia, alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

Penetapan tugas pokok tersebut di atas, dapat di pecah menjadi beragam kegiatan dan sub-sub kegiatan, seperti: Pengelolaan koleksi, Penelitian koleksi, Penyajian koleksi, Penyebarluasan informasi dan pelayanan kepada masyarakat, Pelaksanaan ketatausahaan, Pelestarian koleksi, Pelaksanaan bimbingan edukatif kultural (program publik), dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, nampak adanya dua jenis kegiatan yang dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan yang bersifat administratif sebagai penunjang kegiatan yang bersifat fungsional. Kegiatan administratif di museum dikelola oleh bagian ketatausahaan dan struktural, sedangkan kegiatan yang bersifat fungsional dilaksanakan oleh tenaga-tenaga fungsional di museum. Selain itu, nampak pula bahwa yang dilakukan museum merupakan suatu bentuk pelayanan yang ditujukan kepada publik untuk tujuan-tujuan penelitian, pendidikan dan rekreatif atau bila dapat disebutkan sebagai Tri Darma Museum terhadap pengunjungnya.

Aktualisasi Program
Di tataran implementasi, kegiatan yang dilakukan oleh museum Sri Baduga pada tahun 2009 sampai 2011 berada di bawah payung program Pengembangan Nilai Budaya dengan judul kegiatan peningkatan Apresiasi Permuseuman Jawa Barat dan sub kegiatan yang dilakukan pada tahun 2009: pameran- pameran (Nasional, regional, lokal, dan pameran keliling); konservasi dan reproduksi koleksi; transliterasi, terjemahan, dan kajian Teks Naskah Kuno (Transliterasi dan digitalisasi); Visualisasi dan dokumentasi Khasanah Budaya Jawa Barat (mixing lagu dan film profil Museum); penyebaran Informasi museum sebagai bahan promosi ( pencetakan kalender dan leaflet museum); Milangkala museum yang dimanfaatkan untuk lomba jalan sehat, lomba kaligrafi dan busana, lomba ngadulang dan nasyid, dan workshop. Dilakukan pula kegiatan ngabuburit di museum dengan lomba nasyid dan ngadulang, dan workshop dan gerabah.

Untuk tahun 2010, kegiatan pameran dalam beragam skala masih tetap dilakukan (Nasional, regional dan lokal); juga transliterasi dan deskripsi naskah kuna; Festival Permainan Tradisional; kegiatan pendukung yang memfungsikan Museum Sri Baduga sebagai museum pembina bagi museum lain di wilayah Jawa Barat untuk melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan Museum Geusan Ulun Sumedang melalui Dana Bantuan Tunai Langsung (BTL) dan monitoring serta pengendalian pelaksanaan bantuan.

Pada tahun 2011, kegiatannya meliputi pameran-pameran dengan skala nasional, regional, lokal, dan keliling, pameran di Mall, transliterasi dan dekripsi naskah kuno, pemanfaatan milangkala untuk peningkatan apresiasi museum terhadap masyarakat, melakukan penataan data koleksi. Beberapa kegiatan merupakan partisipasi pada kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi lain, seperti: Pameran Wayang, Pameran Anak pada peringatan hari anak, Pameran Kilas Balik Museum atau Mapag Museum, dan Pameran Braga Festival. Ada pula beberapa kegiatan yang tidak didanai oleh APBD atau non budgeter berupa kegiatan workshop permainan tradisional, pembuatan mainan tradisional, latihan tari tradisional Jawa Barat bekerjasama dengan sanggar Pusbitari dan Wirabuana, dan latihan alat musik tradisional bagi mahasiswa Al-Gifari Bandung, Informasi budaya pada acara “Peperenian” yang dilaksanakan atas kerjasama dengan RRI bandung, serta kegiatan pengenalan dan pelatihan aksara Sunda Kuno, Jawa Kuno, dan Cacarakan. Pada tahun ini pula, museum Sri Baduga memperoleh dana bantuan untuk revitaisasi dari sumber pendanaan APBD.

Bila melihat visi, misi, dan tupoksi museum dan membandingkan dengan kegiatan yang dilakukan selama 3 (tiga) tahun terakhir, nampak bahwa banyak sekali poin-poin kegiatan yang tidak dilaksanakan. Padahal idealnya, selain harus melakukan seluruh tugas pokok dan fungsi yang sudah ditetapkan, juga harus dapat mengembangkannya, atau melakukan diversifikasi terhadap fungsi yang telah ada. Bukan hanya itu, di kekinian pengelolaan museum sebagai institusi pelestari budaya dituntut untuk memiliki efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Seperti dikemukakan Cleere, bahwa:

“Kegiatan perlindungan terhadap warisan budaya di setiap negara-negara di dunia membutuhkan dana masyarakat yang sangat besar. Karenanya penanggung jawab kewenangan tersebut sudah sepantasnya memberikan penjelasan pada yang membiayai mereka, yakni masyarakat, bagaimana uang tersebut digunakan dan mengundang mereka untuk mengikutsertakannya dalam pekerjaan perlindungan ini (1984:128).

Karena menggunakan dana masyarakat dalam jumlah besar, maka konsekuensi dari perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan BCB di museum harus dipertanggungjawabkan. Tidak hanya sebatas keuangan, tapi apakah dana yang dikeluarkan untuk hal tersebut hasilnya sesuai?. Selain itu, dilakukan juga pelibatan atau peranserta masyarakat dalam kegiatan tersebut. Peraturan dan perundangan yang adapun memberi ruang untuk peranserta masyarakat dan kemitraan dengan institusi lain dalam hal ini.

Efisiensi diartikan sebagai pengerjaan sesuatu dengan benar (doing the thing right). Efisien pada sektor usaha swasta dengan pada sektor pelayanan masyarakat (public sector efficiency) yang bersifat nirlaba tentunya berbeda. Efisiensi pelayanan masyarakat tidak berorientasi pada laba dengan demikian dianalisis dengan mengukur pengaruh dari faktor-faktor penentu efisiensi pada sektor tersebut. Efisien juga diartikan menggunakan sumberdaya secara rasional dan hemat, tanpa pemborosan dan penyimpangan.

Sementara pengertian efektifitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu organisasi. Diartikan sebagai pengerjaan hal yang benar (doing the right things). Suatu kegiatan dikatakan efektif bila kegiatan tersebut sudah dilaksanakan dengan sasaran yang semula telah ditetapkan. Biasanya ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi nirlaba atau sosial meliputi efisiensi, efektifitas, manfaat, ekuitas, political rationality, dan economic rationality. Efektif juga dapat diartikan dengan menghasilkan kemasan produk dan informasi melalui kegiatan-kegiatan berkualitas yang dilakukan sehubungan dengan tupoksi bidang kebudayaan dan sesuai pula dengan harapan serta keinginan stakeholdernya.

Kegiatan yang dilakukan museum hanya mengacu pada salah satu kelompok program pembangunan kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yakni: Pengembangan Nilai Budaya dan terbatas pula bentuk kegiatannya. Padahal banyak kegiatan lain yang dapat dikreasikan dari payung program pengembangan nilai budaya ini. Disamping itu, museum dapat dan punya potensi untuk melakukan kegiatan dengan payung program kekayaan dan keragaman budaya melalui koleksinya.

Beberapa pameran dengan judul-judul Sejarah Perjuangan Bangsa, Pameran Patung Etnis, Pameran Kain Tenun Tradisional, Keragaman Alat Musik Nusantara, Pameran Kepurbakalaan dan Museum, juga pameran keliling ke kabupaten kota di Jawa Barat merupakan pameran bersama, dengan skala nasional, regional, dan lokal. Pameran bersama dengan skala nasional dilakukan penyelenggaraannya bergilir keliling ke tempat-tempat peserta pameran tersebut setiap tahunnya, seperti layaknya sebuah arisan. Tentu saja lamanya sejumlah provinsi atau museum peserta pameran. Pameran ini judulnya akan sama terus dalam setiap tahunnya, tentu ini sebuah kelemahan karena mempersempit ruang gerak untuk menyentuh hal-hal aktual yang ada disekeliling kita dan membutuhkan perhatian. Bayangkan kita bertahan dengan judul yang sama selama –bisa 33 tahun, sejumlah provinsi yang ada di NKRI —puluhan tahun, sejumlah museum yang ikut serta. Akan tetapi sebenarnya hal tersebut dapat diatasi dengan cara-cara tertentu. Misalnya: materinya bisa sama, judul dan tema dapat menyesuaikan dengan kondisi aktual saat ini. Untuk dapat melakukannya, tentu dibutuhkan kepekaan dan kreatifitas kurator yang bertindak sebagai konseptor pameran. Dengan demikian, penyelenggaraan pameran tidak sebatas sebagai kegiatan yang bersifat gugur kewajiban dan seolah-olah berdiri sendiri, lepas dari kehidupan masyarakatnya, serta mengingkari tupoksinya “…melayani masyarakat dan perkembangannya…”.

Salah satu hal yang perlu diingat pada saat menentukan tema apa yang akan diusung, bahwa keberadaan museum adalah “…melayani masyarakat dan perkembangannya…..untuk tujuan study, penelitian dan kesenangan…”. Contoh nya dapat dilihat dari tema-tema yang dipilih untuk diusung oleh General Conference ICOM selama ini yang selalu aktual dan sesuai dengan kebutuhan kondisi pada jamannya. Pemilihan tema yang aktual tentunya harus disesuaikan dengan materi dan kemasan penataan sampai dengan pemanduan dan kegiatan lain yang mengiringinya, sehingga tidak terjadi adanya distorsi antara judul, tema, dan isi pameran. Juga tercapai kesesuaian antara nama program Pengembangan nilai budaya, dengan nama kegiatan Peningkatan Apresiasi Permuseuman Jawa Barat dengan sub kegiatan pameran.

Misalnya, pada “The 22nd General Conference ICOM” yang berlangsung di Shanghai, China (7-12 November 2010) tema yang diangkat adalah “Museums for Social Harmony” . Harmony merupakan konsep yang signifikan untuk kemanusiaan dan untuk mewakili budaya Timur . Dasar harmoni sosial terletak pada dialog, toleransi, koeksistensi, dan pengembangan, berdasarkan pluralisme, kompetisi perbedaan, dan kreativitas. Pada dasarnya, harmoni sosial adalah bekerja sama lintas budaya yang berbeda mengembangkan masyarakat saling pengertian, sehingga lebih damai, toleran dan harmonis. Mungkin makna yang dimaksud dalam konteks nasional adalah satu konsep dengan semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika” “ Berbeda- beda namun tetap satu”. Semboyan yang kini mulai meluntur pemaknaannya dan menjadi masalah yang harus diatasi.

“Museums in the 21st Century are at the cross roads of major transformations in the global economy and environment. They are in a position to address the urgent need for safeguarding cultural diversity and bio-diversity as the common heritage of humanity. The preferred futures across the world are for Environmental, Cultural, Economic and Social Sustainability. Museums have a role to play as mediators in these transformations in promoting social harmony…” (ICOM Journal).

Kalimat di atas merupakan penggalan dari hasil rumusan Konferensi Umum ICOM ke 22 di Shanghai China sebagai sebuah peluang kebijakan Internasional yang dibutuhkan untuk mengawal pelestariaan budaya dan pembentukan karakter masyarakat pendukung budayanya.

Hal yang perlu dicermati adalah tingkat kedalaman ditataran implementasi dalam melaksanakan aktivitas museum. Hal ini agar sesuai dengan tuntutan definisi museum terkini yang diacu komunitas Internasional museum. Karenanya, dalam membuat perencanaan harus difikirkan indikator kinerja yang sesuai. Apabila yang ingin diketahui hasil atau outcomes nya adalah nilai, internalisasi, pewarisan nilai pada pengunjung, hal yang intangible, sesuatu yang bersifat kualitatif, tentu sangat tidak relevan bila yang menjadi tolak ukur keberhasilan museum adalah tingkat kunjungan yang tinggi.

D.Pengembangan Model Pewarisan Nilai Budaya Melalui Fungsi Museum
Fungsi Pendidikan
Salah satu dari Tri Darma Museum fungsi museum sebagai institusi pelayanan adalah pendidikan. Museum memiliki sumber-sumber unik untuk pendidikan. Apabila dikemas dengan baik, museum potensial bagi murid untuk memperoleh pengalaman autentik, menimbulkan kegairahan atau hasrat , serta keinginan untuk tahu lebih banyak dengan menyertakan seluruh indra dan bahkan pengalaman emosionalnya.

American Association of Museums (AAM) menyatakan bahwa: ”that Americans view museums as one of the most important resources for educating our children and as one of the most trustworthy sources of objective information”. Museum bagi orang Amerika dianggap sebagai salah satu sumberdaya penting untuk pendidikan anak-anak dan sumber informasi yang terpercaya. Bagaimana hal nya dengan museum kita, sudah maksimalkah berperan dalam fungsi pendidikannya?

Kegiatan bimbingan edukasi atau dikenal dengan sebutan program publik hendaknya diupayakan agar lebih variatif dengan menggunakan pendekatan psikologis, sesuai dengan psikologis jenis pengunjung yang menjadi sasaran kegiatannya.

Misalnya, kegiatan dengan sasaran anak, memanfaatkan naluri anak untuk bermain. Menciptakan transfer ilmu pengetahuan melalui sarana permainan akan menyenangkan anak dan pemahaman diharapkan dapat maksimal. Learn by doing atau learn by playing akan lebih mudah diterima dan lebih meresap di hati anak-anak. Belajar yang dilakukan dengan senang hati dan yang dilakukan karena keterpaksaan akan menunjukkan perbedaan hasil. Hernowo (2006), mengatakan bahwa: “The most efective learning is when it’s fun”. Dunia pendidikanpun kemudian mengembangkan konsep paikem, kirata dari pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Dalam prinsip pendidikan karakter budaya bangsapun salah satunya harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.

Permasalahan yang muncul kemudian, pelajar tidak dapat dibentuk karakternya secara instan hanya dengan sekali datang ke museum. Mencerdaskan, membentuk kepribadian, dan memupuk rasa cinta tanah air membutuhkan upaya internalisasi nilai-nilai pembentukan karakter. Tsauri (2009) menjelaskan bahwa Internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagi diri (self) orang yang bersangkutan. Sangat jelas, bahwa proses membutuhkan waktu dan faktanya, kelompok pengunjung pelajar yang datang ke museum Sri Baduga dari hasil pengamatan di lapangan merupakan kunjungan pertamanya. Hanya beberapa pelajar yang kedua kalinya. Itupun dalam tahapan pendidikan sebelumnya dan merupakan tugas dari gurunya.

Museum seharusnya bertindak menjembatani kebutuhan sekolah dengan tugas, fungsi dan potensi yang dimilikinya. Program pendidikan di museum diantaranya dalam bentuk memamerkan alat-alat pendidikan dengan menggunakan koleksi museum (artefak, dan benda lainnya). Museum dapat menjadi sumber bagi guru (informasi, koleksi, dan pelatihan)dalam hal pengkayaan materi ajar dengan bekerjasama memberikan pengetahuan kepada murid sekolahnya. Saat ini ada beberapa peluang agar museum dapat berkolaborasi dengan sekolah secara intensif atau menjadikan museum sebagai laboratorium untuk pengembangan nilai melalui integrasi dengan mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Salah satunya, adanya revitalisasi terhadap landasan pendidikan yang selama ini berorientasi Barat untuk kembali ke landasan yang disebut Etnopedagogi. Alwasilah (2009: 68) mendefinisikan etnopedagogi sebagai sebuah praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah, seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan lain sebagainya.Kearifan lokal layak menjadi basis pendidikan dan pembudayaan. Dari situ akan berkembang etnofilosofis, etnopsikologi, etnomusikologi, etnopolitik, dan sejenisnya.

“Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal( local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar. Ini mencakup cara mengamati dan mengukur alam sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan dan diterapkan, dikelola dan diwariskan”. (Alwasilah, 2009: 69).

Dari definisi tersebut jelas bahwa potensi etnopedagogi yang menjadi wacana keniscayaan untuk merubah landasan pendidikan di Indonesia tersedia di museum, terutama museum umum dengan sepuluh buah klasifikasi koleksi yang dimilikinya. Peluang ke dua adalah program prioritas Gerakan Nasional Pendidikan karakter budaya bangsa yang sudah dibuatkan grand design nya dari level makro sampai dengan di tingkat satuan pendidikan.

Dari paparan di atas nampak bahwa ada dua institusi, museum dan sekolah yang memiliki tugas sama, yakni pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bila diibaratkan masakan, maka museum memiliki bahan baku masakan, yakni nilai-nilai budaya, kearifan lokal baik yang tangible maupun yang intangible (pusaka tak benda). Sementara, sekolah memiliki cara memasak (dalam konteks waktu, interaksi sosial, proses pembelajaran, metodologi, sampai evaluasi) dan kepada siapa masakan tersebut disajikan (peserta didik).

Bagan di bawah menggambarkan strategi mikro di sekolah.


Penanaman dan penumbuh kembangan nilai nilai budaya tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti pendidikan, pengarahan, indokrinasi, brainswashing, pembudayaan, pembiasaan, dan sebagainya melaui jalur formal, non formal, dan informal secara sinergis.

Dari bagan tersebut terlihat peluang yang memberi ruang museum untuk masuk melengkapi hal yang tidak dimiliki sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Potensi museum dapat masuk melalui integrasi dengan mata pelajaran dan pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kemasan sajian sumberdaya budaya untuk membantu pemahaman generasi muda dapat direalisasikan dengan berbagai cara. Misalnya, membuat perkemahan budaya yang diselenggarakan pada hari sabtu dan minggu untuk anak-anak sekolah atau dengan membuat paket wisata budaya yang diorganisir oleh pengelola museum. Dapat juga dengan mengadakan paket sehari keliling museum, dari museum ke museum, museum masuk sekolah, dan lain sebagainya. Kegiatan yang sudah dirintis pelaksanaannya hendaknya dikemas dengan lebih terarah dan terfokus pada tujuan yang ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan pengelola. Kegiatan hendaknya direncanakan dengan matang berdasarkan perhitungan efisiensi dan efektifitas, sehingga orientasi tidak pada program atau semata kegiatan saja, melainkan pada hasil. Fungsi kontrol dan pengawasan, serta evaluasi hasil kegiatan agar lebih dipertajam.

Saat ini, kebijakan pendidikan karakter budaya bangsa dengan seperangkat nilai yang harus ditanamkan pada peserta didik, mendistribusikan nilai-nilai ke dalam tiap mata pelajaran. Masalahnya adalah, sejauh mana kemampuan guru untuk menterjemahkan nilai- nilai tersebut melalui mata pelajaran ke pada peserta didiknya agar tahapan moral knowing, moral feeling, dan moral action dimiliki oleh peserta didik secara utuh.

Sejak awal, rekomendasi hasil pertemuan para Mendikbud yang diselenggarakan UNESCO pada 1970, 1972, 1973, 1974, 1975, 1976 dan 1978, menekankan anjuran untuk mempercepat kerjasama antara sekolah dan lembaga-lembaga kebudayaan: untuk menghubungkan isi kurikulum pengajaran dengan warisan budaya negeri yang bersangkutan dan untuk memperluas pemakaian sumber-sumber pendidikan di museum (Ulla Keding Olofsson, 1979). Kesempatan tersebut kini terbuka lebar dengan disatukannya kembali bidang pendidikan dan kebudayaan hasil resufle Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua dan melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

KTSP merupakan salah satu bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekoloh dengan mempertimbangkan kepentingan lokal, nasional dan tuntutan global dengan semangat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). KTSP disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada Standar Isi dan Standar Kelulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Alwasilah mengungkapkan tujuh buah ciri terpenting dari KTSP, salah satunya:

“KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip diversifikasi. Artinya, dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat oleh BNSP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan lokal, yakni lokal provinsi, lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah. Dengan demikian, sekolah akan berperan sebagi makelar kearifan lokal”. (2008:23).

Akan tetapi, tidak mudah melalukan sebuah perubahan, apalagi untuk hal yang sifatnya perbaikan. Hal ini diungkapka oleh Alwasilah (2008), bahwa tidak mudah untuk memberdayakan para guru lewat KTSP ini. Ada anggapan bahwa apapun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar.

Dengan memasukkan museum sebagai bagian dari praktek (laboratorium) ke dalam pengembangan kurikulum dan tertera di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk internalisasi nilai –nilai kearifan lokal yang terintegrasi melalui bidang studi dan kegiatan ekstrakulikuler, maka dua hal yang merupakan kelemahan dari institusi sekolah dan museum akan saling melengkapi dan dapat menghasilkan outcome sesuai dengan harapan bila dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional di bidangnya.

Aktualisasinya bisa dengan membuat pelayanan pameran mobile, seperti halnya puskesmas keliling, perpustakaan keliling, bank keliling, pelayanan pembuatan SIM keliling, dan banyak contoh lain yang dapat diadopsi dalam pelayanan pendidikan di museum. Dapat pula dengan sekolah yang mengagndakan secara rutin untuk belajar di museum karena banyak konsep-konsep pedagogik baru yang semestinya diujicobakan untuk mencapai efektifitas pembelajaran sehingga mencapai outcomes yang diharapkan. Misalnya, konsep moving class, contectual teaching learning (CTL), pelibatan ( prinsip bahwa nilai tidak diajarkan, tapi dikembangkan), konsep 30% teori 70% praktek, dan lain sebagainya yang potensinya tersedia di museum.

Permasalahan lain yang mungkin tidak disadari dan memerlukan pemikiran untuk dicarikan jalan keluarnya adalah istilah museum sebagai insitusi pendidikan non formal yang kita gunakan selama ini mengacu pada konsep Barat, atau dahulu masih relevan dengan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara tentang “Tri Centre” pendidikan, yakni: sekolah (formal), keluarga (informal), dan masyarakat (non formal). Akan tetapi, di UU Sisdiknas, yang dimaksud pendidikan non formal bukanlah termasuk museum, melainkan pendidikan kesetaraan atau skill yang tersertifikasi, seperti Paket A, B, C, dan kursus-kursus keterampilan. Lalu dimanakah legal aspek posisi museum yang selama ini kita kumandangkan sebagai institusi pendidikan non formal?. Hal ini terlihat tidak seberapa, akan tetapi aspek hukum memiliki pengaruh yang luar biasa di tataran implementasi kegiatan.

Kegiatan kegiatan lain seperti lomba-lomba, ceramah, diskusi, dan sama juga halnya dengan pemilihan judul pameran khusus hendaknya dibuat dengan tema-tema yang aktual dan dapat berkontribusi bagi masyarakat sebagai alternatif problem solving. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan membuat suatu relationship dengan masyarakat luas dan mengajakserta mereka untuk ikut dalam program kegiatan yang museum lakukan. Selain itu, harus diterapkan konsep-konsep baru yang kreatif dan inovatif untuk membantu pengunjung agar lebih dapat menikmati sajian yang diberikan oleh museum.

Hal lain yang perlu difikirkan adalah indikator pencapaian kinerja museum melalui jumlah kunjungan. Untuk mengukur hasil internalisasi nilai yang sifatnya kualitatif, tentu harus dibuatkan tolok ukur yang sesuai. Jumlah kunjungan hanya dapat digunakan sebagai indikator bahwa museum bersangkutan memiliki banyak peminat atau terjadi peningkatan peminat, akan tetapi inipun harus memiliki target tertentu yang disesuaikan dengan jumlah pelajar yang ada di Jawa Barat. Misalnya, jumlah kunjungan untuk tingkat pelajar SMP dalam dua tahun terakhir, 2009 sejumlah 20.886 dan 2010 sejumlah 24.670. Sementara jumlah siswa SMP yang ada di Jawa Barat berapa? Memang ada peningkatan jumlah dari tahun sebelumnya, akan tetapi berapa jumlah yang ditargetkan disesuaikan dengan total jumlah siswa SMP yang ada di Jawa Barat, memadaikah?

Fungsi Penelitian Museum
Sejak awal perkembangan lembaga museum tidak dapat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan dan ciri ilmiah merupakan predikat yang melekat pada lembaga tersebut (Ditmus, 2008:83). Tidak mungkin suatu museum dapat berfungsi dengan baik tanpa melakukan penelitian” (Sumadio 1991/1992: 1). Museum harus mengkomunikasikan nilai-nilai (baik nilai yang tangible maupun yang intangible) yang terdeposit dalam koleksinya kepada pengunjungnya. Untuk dapat mengungkap nilai-nilai tersebut, tentu harus dilakukan melalui penelitian. Idealnya, museum adalah pusat dokumentasi dan ilmu pengetahuan. Pusat pelayanan ilmu pengetahuan untuk masyarakat dan pusat peningkatan apresiasi budaya. Pusat presentasi budaya, media pendidikan (sumber ilmu pengetahuan dan sejarah). Memiliki fasilitas konservasi, pendidikan, dan sebagai bank informasi.

Untuk menunjang fungsi dan tanggungjawab tersebut di atas, museum tentunya harus didukung oleh SDM yang berkualitas dan senantiasa meningkatkan pengetahuan mereka karena ilmu pengetahuan tidak berhenti, melainkan senantiasa berkembang dan maju dengan pesat. Meningkatkan kemampuan SDM museum adalah hal penting yang harus diupayakan. Pertama karena dalam melaksanakan fungsinya, museum tidak dapat dipisahkan dari penelitian. Kedua, karena peningkatan sarana dan prasarana tanpa disertai dengan kemampuan SDM untuk mengoperasikannya merupakan suatu hal yang sia-sia. Peningkatan SDM dapat dilakukan dengan mengikutsertakan mereka dalam pelatihan-pelatihan permuseuman, workshop, seminar-seminar, pendidikan lanjutan, intership program (magang) pada museum-museum yang ada di luar negeri, studi banding baik di dalam maupun di luar negeri, dan lain sebagainya. Kondisi yang ada dalam peningkatan pengetahuan SDM hendaknya lebih dimaksimalkan, karena peluang yang ada lebih besar dengan diberlakukannya otonomi daerah.

Penelitian terutama dibutuhkan di dalam pengelolaan koleksi agar benda yang ditampilkan dapat “bicara” mengenai dirinya. Dalam hal pengelolaan koleksi, sebaiknya dikelola dengan lebih teratur dan rapi. Sebagian besar koleksi yang ada membebani institusi museum karena ketidaklengkapan informasi yang ada padanya. Untuk mencapai hal tersebut, dapat dilakukan dengan cara mempercayakannya pada sukarelawan yang memiliki komitmen terhadap museum dan teknologi baru. Seperti memadukan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam museum (museum digital), yang saat ini telah banyak digunakan pada museum-museum di luar negeri. Penggunaan museum digital akan lebih memudahkan koleksi untuk diakses guna kepentingan intern maupun ekstern.

Setiap penelitian yang dilakukan tentunya harus sejalan dengan visi dan misi museum Sri Baduga dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Selain itu, penelitian harus mengacu kepada tugas pokok dan fungsi museum. Sebelum melakukan penelitian, syarat utama yang harus dilakukan adalah membuat proposal penelitian. Proposal dibuat sesuai dengan acuan dan kaidah keilmuan yang berlaku di bidang penelitian museum, khususnya. Laporan atau hasil penelitian koleksi disesuaikan dengan untuk siapa informasi tersebut disajikan. Dengan demikian, format dan bahasa yang digunakan harus sesuai dengan sasaran. Munandar (2008) mengemukakan 3 macam penelitian terhadap koleksi, sebagai berikut: Penelitian sepenuhnya terhadap koleksi tertentu dengan tujuan untuk memberikan penjelasan tentang riwayat koleksi itu sendiri, Penelitian koleksi tentang uraian peranannya dalam kerangka sejarah, (kesenian, politik, masyarakat, dll) yang lebih luas, Penelitian terhadap koleksi sebagai data pendukung dari suatu kajian (masa lalu atau masa kini) sesuai dengan keperluannya.

Selain penelitian dengan obyek koleksi, ada pula penelitian dengan obyek pengunjung, terutama dilakukan untuk mengetahui pola perilaku mereka, ketertarikan, aspek psikologisnya, serta harapan mereka terhadap institusi museum. Penelitian ini dilakukan sebagai acuan dalam melakukan pengembangan museum ke arah sesuai dengan harapan pengunjungnya. Ini terkait dengan fungsi museum dalam hal “…in the service of society…(penggalan definisi ICOM) dan “…administered in the public interest” (penggalan definisi AAM) dan Dean (1996:19) mengatakan bahwa “People are the only reason for museum to exist” dan pepatah mengatakan bahwa “People buy their reason, not yours”.

Kerjasama yang lebih terintegrasi antar institusi penelitian lain (Balai Arkeologi, Balai Kepurbakalaan, sejarah, dan nilai Tradisional, daan lain sebagainya) perlu ditingkatkan. Museum juga harus mengembangkan program kegiatannya untuk lebih menarik media karena pertumbuhan identitas nasional besar ketergantungannya pada partisipasi media dalam setiap masterplan budaya. Melalui media, hasil penelitian museum dapat dipublikasikan, atau dikemas sebagai sebuah bentuk transformasi nilai pada publik.

Kerjasama di bidang penelitian dan peningkatan kualifikasi SDM juga bisa dijalin dengan lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal. Misalnya yang telah dilakukan dengan Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran untuk peningkatan pengetahuan ilmu permuseuman bagi staf museum. Ada pula kerjasama yang dapat dilakukan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, Internasional Agency (Ford Foundation, Jica, dan sebagainya) dan individu-individu yang memiliki kepedulian terhadap museum. Pengelola museum dapat membuat suatu kelompok masyarakat pencinta museum (member of museum, friend of museum) dan memberdayakan mereka dengan maksimal dalam setiap kegiatan program publiknya. Museum Asia Afrika dan Museum Geologi telah memiliki komunitas ini dan aktif melibatkan mereka dalam kegiatannya dan merekapun membuat pertemuan rutin untuk FGD (Focus Group Discussion).

Fungsi Rekreatif
Tampilan wajah depan museum kadang dianggap eksklusif oleh sebagian orang. Kadang ini membuat jarak antara museum dan masyarakatnya. Karenanya kesan tersebut hendaknya dihilangkan. Hal teknis yang dapat dilakukan untuk menarik minat masyarakat agar berkunjung ke museum diantaranya adalah merubah tampilan wajah depan museum agar lebih bersahabat, tidak terkesan angker dan eksklusif.

Arnold L. Lehman, direktur Brooklyn Museum, Miami Art Museum, dan Baltimore Museum of Art sebelum menjabat sebagai pimpinan institusi tersebut, berjalan mengelilingi museum dan mengeluarkan pertanyaan : “ Apa yang membuat museum ramah pada orang yang tidak mengenalnya?” (Martin, 1997). Di Museum Sri Baduga hal ini dapat dilakukan dengan mengganti pagar tinggi yang mengelilingi halaman museum dengan pagar yang dapat dilepas dan menyambung saluran air yang memisahkan halaman museum dengan trotoar. Ini akan dapat memperluas halaman museum dan secara psikologis dapat menghilangkan pembatas antara museum dan masyarakatnya. Seolah museum berkata pada masyarakat bahwa ” saya ada disini untuk anda”.

Panggung terbuka (open stage) dibuatkan tempat duduk permanen yang dibuat lubang-lubang untuk permainan congkak, garis-garis untuk permainan dam-daman, dan permainan tradisional yang lain. Hal ini dapat merangsang anak untuk mencoba bermain dan dalam tahap berikutnya mereka akan asyik bermain. Dalam hal ini ketiga fungsi museum, yakni sebagai tempat pelestarian budaya, pembelajaran dan fungsi rekreatif dapat berjalan secara bersamaan. Sementara panggung terbukanya sendiri dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk latihan kesenian tradisional atau untuk mewadahi pagelaran dari kegiatan ektra kurikuler (eskul) bidang kesenian yang ada di sekolah-sekolah. Dengan demikian, suasana museum akan senantiasa ramai oleh mereka yang pada awalnya berkepentingan dengan keberadaan panggung dan kegiatannya. Keramaian ini merupakan sasaran empuk bagi museum untuk dapat dijadikan sebagai konsumen pengunjung museum. Kemudian membuat jembatan penyembrangan ke arah areal Tegalega yang merupakan hutan kota dan terdapat Monumen Bandung lautan Api.

Upaya tersebut dapat dimasukkan ke dalam penataan lingkungan komplek museum (landscaping). Penataan lingkungan yang indah, menarik serta harmonis bukan hanya sarananya saja tapi juga peletakan dan pengemasan atau penampilan dari sarananya dirancang baik. Misalnya, ditambahkan sarana makan dan minum diluar (out door) selain yang ada di dalam (in door). Dibuat dengan tenda-tenda khusus yang bentuknya disesuaikan dengan bentuk taman. Penataan taman dilengkapi air terjun dengan bentuk tempat duduk yang dibuat tradisional. Di saat tertentu dijajakan makanan tradisional berikut alat pikulnya, sehingga menyerupai suasana pasar tradisional. Suasana seperti ini diharapkan akan menarik dan memberikan nuansa nostalgia bagi pengunjung. Penataan taman yang baik juga dapat dipadukan dengan penataan koleksi yang memungkinkan untuk ditata di luar (out door).

Kafetaria in door dan out door ini tidak harus dikelola oleh staf museum, namun dapat dikelola pihak swasta dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu (sewa, bagi hasil, penataan ruang kafe, menu khusus yang disediakan dengan nama-nama tradisional atau menu makanan khas yang ada di wilayah Jawa Barat, dan lain sebagainya). Jenis makanan yang bersifat tradisional disamping menu modern yang ada namun dikemas dengan nama-nama yang tradisional, harga yang terjangkau, suasana yang asri dan nyaman, dan disajikan secara bersih dan sehat dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung museum.

Ruang istirahat atau ruang tamu dapat diupayakan senyaman mungkin dengan interior tradisional dipadukan dengan fasilitas hotel berbintang. Sebagai hiburan, pada waktu-waktu tertentu wisatawan atau pengunjung yang sedang beristirahat dapat disuguhi pertunjukan langsung (live show) berupa kesenian tradisional yang penampilannya tidak memakan waktu lama. Untuk lebih mengefektifkan hasil dari kegiatan program publik-nya (pagelaran seni tradisional, pameran, dan sebagainya), museum hendaknya dapat membuat perencanaan yang matang dengan penjadwalan yang pasti. Dengan demikian, jadwal kegiatan ( Calender event) tersebut dapat disebarluaskan ke travel biro atau jasa pariwisata lainnya yang kemudian dikirimkan ke Negara-negara lain tempat perwakilannya berada.

Museum sebaiknya memiliki toko buku yang lengkap, karena buku merupakan kebutuhan penting untuk pendidikan formal. Demikian pula halnya dengan ruang apresiasi. Ruang ini perlu diadakan sebagai ruang dimana pengunjung dapat melakukan apresiasi aktif terutama bagi pengunjung anak-anak tingkat taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Di ruang ini anak-anak dapat mengapresiasikan apa yang dilihat dan dicermati pada ruang pameran ke dalam bentuk gambar, patung, dan lain-lain, secara bebas dengan fasilitas berupa media kerja yang disediakan oleh museum.

Auditorium yang ada sekarang hendaknya dilengkapi dengan home theatre, seperti yang ada di Museum Geologi Bandung. Hal ini untuk lebih memudahkan petugas bimbingan di dalam memberikan pembekalan atau informasi tambahan kepada pengunjung, terutama siswa sekolah. Museum sebaiknya memiliki ruang sidang dan penginapan yang representif. Fasilitas ini selain menjadi kelengkapan sarana juga dapat digunakan untuk kebutuhan intern maupun ekstern. Misalnya, untuk seminar, diskusi, dan lain sebagainya atau dapat mendatangkan penghasilan tambahan apabila disewakan kepada pihak lain. Hasilnya dapat dijadikan pemasukan bagi kas daerah atau dapat digunakan untuk lebih meningkatkan sarana dan prasarana serta pelayanan terhadap pengunjung. Hal lain yang sangat penting dalam fungsi rekreatif, museum harus mewujudkan kondisi sapta pesona bagi pengunjung dan calon pengunjungnya. Sapta pesona mengandung unsur-unsur : Aman, Tertib, bersih, Sejuk, Indah, ramah, dan kenangan yang dapat menarik kunjungan ke museum dan menahaan merekaa untuk tinggal lebih lama di museum.

Museum dengan fungsi rekreatif -nya berkewajiban memperhatikan kemasan pamerannya. Pameran di museum merupakan hal pokok yang dilakukan untuk menampilkan koleksi-koleksi-nya. Agar dapat membuat pamerannya menarik, harus dikuasai betul konsep desain pameran koleksi museum karena berbeda dengan desain di tempat lain. yang. Penataan di museum tidak semata hanya menampilkan aspek estetikanya saja, namun bertujuan menyampaikan suatu gagasan, ide, konsep tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan museum. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain sebuah pameran adalah mengkreasikan suatu lingkungan yang dapat memberikan suatu pengalaman bagi pengunjung saat melihat pameran. Bagaimana melibatkan emosi pengunjungnya, membuat mereka merasa berada di alam yang diinginkan pengelola ketika memasuki suatu ruang pameran. Di sini dibutuhkan interpretasi, seperti dikemukakan Donato (1980 : 223) bahwa:

“objek-objek yang dipamerkan di museum selalu dengan fiksi (cerita rekaan) yang merupakan suatu gambaran alam semesta yang terpadu. Apabila fiksinya menghilang, maka tidak ada satupun yang tersisa dari museum kecuali hiasan-hiasan dari pecah belah, suatu timbunan miskin makna dan fragmen –fragmen yang kurang bernilai dari objek-objek yang tidak mampu menggantikan dirinya sendiri sebagai objek asli atau metaphora untuk gambarannya”.

Selain itu, dalam penataan pengunjung tahu kemana alur ceritanya. Story line atau alur cerita yang dibuat harus sesuai dengan ruang tempat alur pengunjung mengalir (dimana pengunjung harus memulai dan mengakhirinya). Kecuali untuk penataan yang yang bersifat tematis (open design).

Pengunjung memiliki keleluasaan ruang dan cahaya saat melihat koleksi yang dipamerkan. Warna yang digunakan dalam penataan untuk penekanan atau fokus sebagai elemen yang mempersatukan untuk efek simbolik atau psikologik. Selain itu, materi penunjang yang digunakan harus memiliki karakteristik tertentu yang sesuai dan aman bagi koleksi yang dipamerkan. Demikian pula halnya dengan pencahayaan, harus diperhitungkan kenyamanan pengunjung yang melihatnya (untuk atmosfir penataan, menciptakan respon emosional), keindahan penampilannya, dan keamanannya bagi koleksi yang dipamerkannya. Penunjang lain dalam penataan adalah grafik ( termasuk teks, photo, gambar, dan diagram) yang dibuat tidak semata untuk meyakinkan informasi yang diberikan, tapi juga memberikan sentuhan ruang dan waktu, dan sebagai dekorasi.

Pembuatan lebel atau informasi yang menyertai penataan koleksipun memiliki kaidah-kaidah tertentu yang harus diikuti kalau orientasi penataan adalah kepuasan dan kenyamanan pengunjung. Membuat lebel yang baik memiliki seni tersendiri, selain ukuran, warna, keletakan sudut pandang dan isinya yang mengandung informasi nama benda, fungsinya, siapa pembuatnya, kapan, dimana, dan bagaimana membuatnya (5 W + 1 H)?.

Selain story line yang sekarang sedang direnovasi harus memiliki gagasan yang jelas dan berkesinambungan (konsisten) sesuai dengan koridor konsep penataan yang baik, sehingga inormatif dan mudah dipahami oleh pengunjungnya . Penataan pameran di Museum Sri Baduga seharusnya dibuat lebih interaktif dan responsif untuk masyarakat. Pengembangan museum sudah harus menggunakan presentasi multimedia agar lebih memaksimalkan penataan koleksi-koleksinya. Dengan mengembangkan teknik-teknik pertunjukan teater dalam penyajian koleksi ( misalnya: 3 Dimensi holographic Omnimax), pengunjung akan merasa mengalami seperti yang sesungguhnya. Museum dapat mengupayakan menggunakan drama ritual, inisiasi dan pertunjukan ke dalam penataan koleksinya.

Penataan yang menarik dan dapat menjawab kebutuhan serta keinginan pengunjung dilengkapi label dengan bahasa yang indah, menyentuh, informatif, dan komunikatif, serta penunjang lain sesuai konteks waktu dan ruang. Bagaimana agar penataan koleksi di ruang pameran tetap dapat dibuat menyentuh secara emosional semaksimal mungkin indra pengunjungnya. Mulai dari rasa (ingatan yang menggugah/nostalgia, pikiran/imaginasi, dan sentuhan), mata (keindahan/estetika), penciuman (aroma dapur, kamar, atau ruang lain, sesuai dengan visualisasi ruang yang ditampilkan), dan pendengaran (back ground musik dalam ruang penataan sesuai dengan tema penataannya).

Hal lain yang harus menjadi pertimbangan dalam penataan dan pelayanan pengunjung adalah jenis-jenis pengunjung. Beda pengunjung akan berbeda pula kebutuhannya. Hal ini harus benar-benar dipahami pengelola karena setiap jenis pengunjung harus dapat diakomodir kebutuhannya. Dalam penataan koleksi di museum juga harus dipahami betul pola grafik tingkah laku orientasi keluar dalam kunjungan ke museum (exit oriented behaviour pattern in museum visiting) dan penurunan atensi pengunjung dalam jangka waktu kunjungan di museum. Di tempat ini, pengelola museum harus jeli dan peka terhadap kebutuhan pengunjung. Pada tempat tersebut, sebaiknya disediakan bangku untuk istirahat, taman bunga yang segar, atau sajian yang berbeda dan menarik (atraktif). Ini akan dapat menjadi refreezing dari keseragaman penataan yang sebelumnya.

Dalam kegiatan pameran temporer atau pameran khusus yang dilaksanakan museum hendaknya dipikirkan suatu “sentuhan akhir” yang inovatif, dapat membuat informasi atau misi yang disampaikan penggagas pameran berkesan, melekat, dan tinggal lebih lama dalam ingatan pengunjungnya.


III. Penutup

Dari seluruh uraian hasil kajian tersebut di atas, maka beberapa hal dapat disimpulkan, sebagai berikut:

  • Museum Sri Baduga sebagai institusi yang berpotensi luar biasa melalui koleksinya berupa nilai-nilai budaya, kearifan lokal pembentuk jati diri bangsa dan penyaring budaya asing yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat kita dapat menjadi laboratorium bagi sekolah untuk internalisasi nilai –nilai pembentuk karakter budaya bangsa. Dengan demikian, ke- dua institusi ini saling melengkapi kekurangan masing-masing yang menjadi kendala dalam mencapai tujuan organisasinya.
  • Untuk memperoleh hasil pembelajaran dalam proses pewarisan nilai budaya yang efektif, perlu adanya koordinasi dan kerja bersama melalui pengembangan kurikulum sekolah sampai ke tataran penyusunan RPP yang mengintegrasikan nilai di dalam tiap mata pelajaran dan penyiapan kunjungan ke sekolah, atau sekolah ke museum dan kegiatan yang berkelanjutan. Ini disebabkan karena secanggih apapun penanaman nilai dikemas, sangat tipis keberhasilannya dengan hanya sekali dua kali pelajar berkunjung ke museum.
  • Untuk dapat memaksimalkan Tri Darma museum sebagai institusi yang melayani publik dengan tujuan pendidikan, penelitian, dan rekreasi harus didukung oleh SDM yang profesional dan mumpuni. Termasuk mumpuni mentalitet dan behaviour nya. Hal ini disebabkan karena SDM museum berperan sebagai the agent of chance yang tuntutannya adalah keteladanan. Untuk menciptakan pelajar yang berkarakter hanya dapat berhasil dengan lingkungan yang berkarakter. Karenanya peningkatan SDM harus senantiasa diupayakan dengan berpegang pada prinsip Long life education .
  • Penempatan pegawai yang tidak “right man in the right place” sudah harus ditinggalkan apabila museum ingin dapaat mampu menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Kualifikasi dan kompetnsi SDM harus sesuai dengan tuntutan dan tanggungjawab tugas yang dibebankan agar museum dapat berkembang dengan sehat dan maksimal sesuai dengan harapan.
  • Tugas pendidikan bukan semata tanggung jawab Dinas Pendidikan, tapi tanggungjawab bersama semua elemen bangsa. Dibutuhkan adanya sinergitas antara pemerintah daerah, dinas terkait, museum dan sekolah dalam melaksanakan program prioritas GNMCM dan Pendidikan Karakter Budaya Bangsa.
  • Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Budaya Bangsa dan Revitalisasi kerifan lokal dalam etnopedagogi sebagai landasan pendidikan yang tidak cukup dilakukan secara personal, tetapi mesti dilakukan secara kolektif institusional dan lintas sektoral merupakan peluang museum untuk ikut berkontribusi melalui potensi yang dimilikinya.
  • Pemanfaatan museum oleh lembaga pendidikan formal dapat membantu mencegah adanya disintegrasi yang sempat marak di beberapa provinsi lain, degradasi moral,& berkontribusi meningkatkan IPM Jawa Barat yang di bawah target capaian. Ini membutuhkan komitmen bersama seluruh stekeholder (pemerintah,anggota dewan,dan seluruh lapisan masyarakat)untuk dapat mewujudkannya.
  • Perlu dipikirkan adanya legal aspek museum di UU Sisdiknas sebagai institusi pendidikan non formal yang selama ini seringkali diucap dan dituliskan.

 


Daftar Referensi

AAM On line, (2002). Museum System & the AAM Accreditation Prog.

Alwasilah, A Chaedar, dkk. 2008. Pendidikan di Indonesia, Masalah dan Solusi. Jakarta: Kedeputian Bidang Koordinasi Pendidikan, Agama, dan Aparatur Negara.

Alwasilah, A Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN. Bandung: Lubuk Agung

Alwasilah, A Chaedar, dkk. (2009). Etnopedagogi, landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat.

Alwasilah, Chaedar, Membangun Karakter Bangsa. Artikel Pikiran Rakyat 05/01/2009

Arby , Yunus. (2002). Museum Dan Pendidikan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Proyek Pengembangan kebijakan Kebudayaan.

Bisnis Indonesia 15/01/2010

Brumbaugh. Lawrence. 1963. Philosophers on Education six Essays on The Foundations of Western Thought. Boston: Hougton Mifflin Company

Charles Schaefer, 1996, Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, Jakarta: Mitra Utama.
Clide, Gordon. 1951.Piecing together the past the interpretation of archaeological data, New York: F A Prager,

Cleere, Henry. (1989). Archaeological Heritage Management in The Modern World. London: Council for British Archaeology.

Cummings, W.K, et al.(Eds)(tt). The Revival of Value Education In Asia and The West. New York:Permagon Press

Dani Ronie, 2006, The Power Of Emotional and Adversity Quotient for Teachers, Bandung: Mizan.

Damanik, C 2010. “Kependudukan Penduduk Indonesia 236,7 Juta Jiwa” [Online]. Tersedia: http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16[16 Agustus 2010]

Darmadi, Hamid . 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral, Landasan Konsep Dasar dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Dean, David, et al.(1994) . The Handbook For Museum Routledge: London and New York.

Djahiri, Kosasih. (1995). Dasar Dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai Moral PVCT. Bandung : Laboratorium Pengajaran PMP IKIP.

Djahiri, Kosasih. (1996). Menelusuri Dunia Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Laboratorium Pengajaran PMP IKIP.

Djahiri, Kosasih. (2004). Esensi Pendidikan Nilai Moral di Era Globalisasi. Makalah Pada hari jadi UPI Tanggal 1 September 2004.Bandung :PPS UPI

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Martinis Yamin, 2006, Profesionalisme Guru dan Implementasi, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Pers.

Mansyur Suryanegara, Ahmad ( 2004) Reinterpretasi dan Reaktualisasi Penulisan Sejarah Jawa Barat, Makalah.

Hernowo, (2006) Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Dengan Menggunakan Pendekatan Kontektua. Bandung: MLC

Hernowo, (2007) Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Secara menyenangkan Bandung: MLC

http://baliposcetak

http://mgmpipablitar.blogspot.com/2010/06/panduan-pendidikan-karakter.html

Ibrahim, Ruslan. 2007, Pendidikan Nilai di Dalam Era Prularitas: Upaya Membangun Solidaritas Sosial, Journal Pemikiran Alternatif Pendidikan< Indania V0l 12 No.3 Sep-Des 2007 297-311

Icom Journal 2011

Iriani, Yunita, 2011, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Integrasi Mata Pelajaran, Pengembangan diri, dan Budaya sekolah. Bahan Ajar Diklat Pendidikan Karkter Untuk Kepala Sekolah SLB Se Jawa Barat.

J.J. Honingmann, 1959. The World Of Man

Koencaraningrat. 1983. Pengantar ilmu antropologi, Jakarta: Aksara Baru

Koentjaraningrat, 1982, pengantar Antropologi, Jakarta:Aksara Baru

Koentjaraningrat, 1992. Beberapa Pokok Antropologi sosial, Jakarta: PT. Dian Rakyat

Kompas 17/01/2010

Kurniawan, K. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Moral. http://groups.google.co.id,

Licona, Thomas 1992, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books

Lord, Barry, et al. (1997).The Manual Of Museum Management London: The Stasionary Office.

Makmur K, Ade (2008)“Nilai-nilai kearifan Lokal Jawa Barat” (Makalah disampaikan dalam Workshop Kesejarahan dan Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal Jawa Barat bagi Guru Sejarah dan Generasi Muda di Di Grand Hotel Pasundan Bandung Tanggal 25 s.d. 27 Maret 2008).

Megawangi, Ratna, 2004, Pendidikan Karakter, Solusi Tepat Untuk Membangun Bangsa, Depok : INDONESIA Heritage Foundation.

Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Munandar, Agus Aris. 2008. Penelitian Koleksi di Museum, Bahan Diklat Permuseuman.

Mundardjito. (2003). Penyelamatan Benda Budaya Dari Bencana dan Peran Masyarakat. Makalah dalam Diklat Manajemen Siaga Bencana BCB di Yogyakarta.

News.okezone.com

Poespoprodjo. 1999. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung : CV Pustaka Grafika.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Badan
Penelitian dan Pengembangan,

Rosidi, Ayip. 2004, Masa Depan Budaya daerah, Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda, Jakarta : Pustaka Jaya.

Santos, Aryso Nunos. 2005. Atlantis, The Lost Continent Finally Found, Jakarta: Ufuk Press

Sofyan Sauri.2006. Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT. Genesindo

Sofyan Sauri. 2006. Membangun Komunikasi Dalam Keluarga. Bandung: PT. Genesindo

Sumadi Suryabrata, 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: CV. Radjawali

Suyanto, 2010, Urgensi Pendidikan Karakter, Makalah

Sutaarga, M.A .(1989). Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Dirjenbud Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

Tajuk Rencana. 2008. Selamatkan Anak-anak Kita! Kompas, Sabtu 15 November

Waruwu, Fidelis E, 2010, Membangun Budaya Berbasis Nilai, Panduan pelatihan Trainer, Yogyakarta: Kanisius

Wilkipedia kamus bahasa bebas

http://www.pikiran-rakyat.com

Yaqin, M.A.2005. Pendidikan Multicultural Cross-CulturalUnderstanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media

Dokumen:
RKA Museum Sri Baduga 3 Tahun terakhir
UU No. 17 Tahun 2007 Tentang RPJPN
PP No. 19 Tahun 1995
UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Renstra Kemenbudpar 2010
SK Gubernur No. 64 tahun 2002

*Penulis adalah Widyaiswara Balai pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Umum, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Pernah bekerja di Museum ABRI Waspada Purbawisesa, Museum NTB, dan Museum Sri Baduga Bandung. Anggota IAAI Komda Jabar Banten, Bendahara MSI Jabar, Sekertaris II AMI Jabar Banten. Tinggal di Bandung. Alamat email: irianiyunita@yahoo.com. Tlp. 08164212236

*Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi 2011, dimuat dalam Museografia edisi Desember 2011


Tanggapan

  1. What you said made a bunch of sense. But, what about this? suppose you were to create a awesome title?
    I ain’t saying your content is not good, but what if you added something that makes people want more? I mean Kajian Model Pewarisan Nilai Budaya bagi Pelajar melalui Fungsi Museum (Studi Kasus di Museum Sri Baduga Jawa Barat) | Museum untuk Persatuan dalam Perbedaan is kinda plain. You might look at Yahoo’s home page and see how they write news titles to grab viewers
    interested. You might try adding a video or a picture or two to grab
    readers interested about everything’ve got to say. Just my opinion, it might make your blog a little bit more interesting.

  2. I’ll immediately seize your rss feed as I can’t to find
    your email subscription hyperlink or newsletter service. Do you’ve any?
    Please permit me understand in order that I may just subscribe.
    Thanks.

  3. wh0cd400681 stromectol online


Tinggalkan komentar

Kategori