Oleh: museumku | 17 Januari 2012

Tata Pamer Museum: Pandangan Seorang Pemerhati*

Pendahuluan
Sejak lama museum-museum di Indonesia dicanangkan menjadi objek yang bersifat rekreatif edukatif. Museum memang diarahkan untuk kepentingan pariwisata dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek pendidikan. Terlihat brosur-brosur pariwisata hampir selalu memasukkan museum ke dalam promosinya. Apalagi label-label koleksi sengaja ditulis dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.

Dari sekian banyak museum, hanya sedikit yang dikategorikan layak jual untuk kepentingan pariwisata. Umumnya museum-museum itu terdapat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Selain sebagai objek pariwisata, peran lain yang disandang museum adalah objek pendidikan dan objek ilmu pengetahuan. Banyak informasi dari museum memberi teladan kepada generasi masa kini, misalnya tentang kepahlawanan para pejuang dalam merebut kemerdekaan. Sebagai objek ilmu pengetahuan, museum antara lain memberikan informasi tentang perkembangan pembuatan peralatan yang berasal dari ratusan tahun hingga ribuan tahun yang lalu. Museum seperti ini tak ubahnya guru dalam lembaga pendidikan nonformal.

Disayangkan minat masyarakat untuk mengunjungi museum masih amat rendah. Kalau tidak ada program ’wajib kunjung museum’ oleh Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto waktu itu, mungkin para siswa enggan mengunjungi museum. Sebelum adanya instruksi tersebut, bahkan sampai sekarang, sebenarnya program mengunjungi museum masih tetap dilakukan para siswa. Hanya sifatnya yang berbeda. Pada 1970-an para siswa SMP kelas 3 dipaksa membuat karya tulis untuk laporan akhir. Kini kegiatan mengunjungi museum lebih bersifat pengenalan. Namun kegiatan tersebut tampaknya kurang efektif. Bayangkan, dalam sehari para siswa diajak mengunjungi lima museum, dengan jarak tempuh agak berjauhan.

Sudah jelas mereka tidak mendapatkan apa-apa dari museum. Berlarian ke sana ke mari, mengobrol, dan bercanda adalah tingkah para siswa ketika berkunjung ke museum. Tidak dimungkiri, museum belum menjadi perhatian mereka. Siapakah yang pantas disalahkan, pihak sekolah atau pihak museum? Yang jelas banyak faktor yang menyebabkan masyarakat masih enggan bersahabat dengan museum.

Anekdot
Ada anekdot tentang museum. Konon, sebagian masyarakat Indonesia seumur hidup hanya pernah dua kali mengunjungi museum. Pertama, ketika masih sekolah dan kedua, ketika mengantar cucu. Setelah diamati si kakek, ternyata koleksi yang dipamerkan masih yang itu-itu juga. Anekdot tersebut jelas menunjukkan ada yang kurang pada pengelolaan museum. Dulu memang ada kesan kotor, bau, seram, dan pendapat negatif lain. Mudah-mudahan aktivitas revitalisasi museum pada 2011-2014 ini mampu menepis anggapan kurang sedap itu.

Mengingat sebagian besar museum di Indonesia milik pemerintah, keadaan yang menyedihkan itu tidak terlepas dari anggaran yang diterima masing-masing museum masih terlalu minim. Di pihak lain disyaratkan museum berstatus badan hukum tetap dan tidak boleh mencari keuntungan. Tujuan pendirian museum adalah untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kesenangan.

Pada dasarnya museum mempunyai lima tugas pokok, yaitu pengumpulan, penelitian, pelestarian, pendidikan, dan penyampaian informasi. Roh sebuah museum adalah koleksi dan jiwanya adalah penataan koleksi. Untuk itulah museum memerlukan koleksi yang baik atau menarik. Koleksi berupa benda utuh pasti lebih disukai daripada bentuk pecahan, kecuali kalau benar-benar memang bendanya hanya itu dan tidak dapat direkonstruksi.

Biasanya koleksi museum diperoleh lewat ekskavasi, penemuan tidak disengaja, pemberian, pembelian, tukar-menukar, dan titipan. Pengumpulan koleksi tidak harus mengeluarkan uang. Komunitas kolektor dapat diajak bekerja sama untuk mengisi kekurangan itu, misalnya Himpunan Keramik Indonesia atau Asosiasi Numismatika Indonesia.

Koleksi yang sudah tersedia, perlu dilengkapi dengan penelitian. Museum harus benar-benar memahami suatu koleksi. Setiap koleksi harus didokumentasikan selengkap mungkin. Kalau museum kekurangan tenaga, dapat meminta bantuan ilmuwan dari kalangan perguruan tinggi. Pilihan lain, pekerjaan inventarisasi atau penelitian dapat dilimpahkan kepada mahasiswa tingkat akhir.

Pelestarian koleksi mutlak dilakukan guna kepentingan generasi mendatang. Koleksi harus dirawat oleh bagian khusus yang dibentuk oleh museum. Biasanya bagian konservasi atau preparasi merawat koleksi berdasarkan jenis bahan, misalnya kain, batu, atau logam. Setiap jenis bahan mengalami perlakuan yang berbeda.

Tugas pendidikan dilakukan berdasarkan ketiga penanganan di atas. Rasa keingintahuan pengunjung harus dipancing dengan koleksi yang bermutu dan khas. Sementara informasi hanya dapat diberikan berdasarkan penelitian dan dokumentasi yang lengkap.

Rancangan Penyajian
Penyampaian informasi sangat tergantung dari rancangan penyajian suatu pameran. Rancangan itu akan menjadi cermin dari sifat, jenis, dan isi dari museum. Ada dua jenis pameran yang ada di museum, yakni pameran tetap dan pameran tidak tetap (temporer). Dulu di Indonesia pengumpulan koleksi museum umumnya diprakarsai oleh pejabat pemerintah dan kaum cendekiawan bangsa Eropa. Hal inilah yang mewarnai isi penyajian pameran museum. Akibat warisan kolonial, informasi yang ada tentang koleksi menjadi kurang lengkap, misalnya tidak diketahui asal suatu artefak. Informasi dalam katalog pun sulit dimengerti karena faktor bahasa Belanda yang bersifat teknis. Dampak selanjutnya, koleksi tidak dapat dimengerti oleh pengunjung.

Paling tidak ada dua kategori pengunjung museum. Pertama, pencari data, misalnya peneliti dan mahasiswa. Boleh jadi mereka tidak menghiraukan sistem penyajian atau tata pamer di museum. Buat mereka yang penting memperoleh bahan untuk penulisan karya tulis. Sejak lama, misalnya, banyak mahasiswa program studi Arkeologi mengunjungi Museum Nasional untuk mencari data penulisan skripsi. Mungkin saja mereka tidak memperhatikan penataan pameran di museum ini. Meskipun demikian, tetap ada keuntungan bagi museum. Pengolahan data artefak yang mereka lakukan, bermanfaat untuk penyusunan katalogus. Syukur-syukur kalau yang datang mahasiswa jurusan Arsitektur atau Desain Interior yang membahas tata pamer. Upaya mereka tentu merupakan masukan berharga buat museum.

Kedua, pengunjung yang kritis. Pengunjung demikian biasanya banyak menuntut. Jika mereka merasa tata pamer kurang baik, tentu mereka enggan datang lagi ke museum. Sebaliknya bila dipandang bagus, boleh jadi promosi dari mulut ke mulut diperoleh pengelola museum.

Di Indonesia pengertian museum telah mengalami perubahan makna. Dulu museum berfungsi untuk melestarikan koleksi, namun sekarang untuk menginformasikan koleksi kepada masyarakat. Karena itu penyampaian informasi tentang koleksi harus benar-benar diperhatikan pengelola museum. Informasi harus lengkap sehingga memuaskan keingintahuan pengunjung. Informasi yang lengkap tidak harus panjang. Yang penting mengandung unsur siapa, apa, di mana, bilamana, mengapa, dan bagaimana.

Penyajian pameran merupakan kekuatan sebuah museum. Di sini akan terjadi interaksi antara pengunjung dengan museum. Bagaimana membuat komunikasi yang baik antara koleksi dengan pengunjung tentu tergantung pada seberapa banyak informasi yang dapat diperas dari suatu koleksi. Semakin banyak informasi yang diperoleh pengunjung, berarti cara berkomunikasi yang dilakukan museum semakin baik.

Selama ini informasi label di berbagai museum masih sering dikeluhkan pengunjung. Pada koleksi arca misalnya hanya disebutkan arca dewa, ditemukan di daerah A, dan berasal dari abad kesekian. Bagaimana asal-usul dewa tersebut tidak ada ceritanya. Ada pula label arca yang tertulis demikian, ”arca Buddha, sedang bersemedi, mata tertutup”. Label seperti itu mungkin tidak banyak berguna karena pengunjung sudah melihat langsung koleksi tersebut. Label yang terlalu panjang, juga harus dihindari. Malah akan tidak sebanding dengan ukuran koleksi yang terlalu kecil, di samping membuat mata pengunjung menjadi lelah. Informasi untuk anak-anak perlu dipikirkan untuk panel informasi, cukup satu atau dua kalimat. Letakkan dalam posisi yang seimbang dengan tinggi tubuh mereka.

Perancang Pameran
Museum-museum di Indonesia tampaknya belum memiliki perancang pameran yang profesional. Seorang perancang pameran harus bekerja sama dengan kurator untuk memutuskan bagaimana membuat tata letak sebuah pameran. Tenaga kurator yang diperlukan, tentu saja harus profesional juga.

Perancang pameran harus memiliki rasa estetika, dapat saja berasal dari kalangan arsitek atau desain interior. Sebagai pendukung adalah tenaga desain grafis, ilmuwan, akademisi, seniman, dan lainnya.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, museum merupakan sesuatu yang serba mahal. Jarang sekali pengelolaan museum dapat ditutup dengan penghasilan dari karcis masuk. Bahkan di beberapa negara, juga termasuk Indonesia, sejumlah museum terpaksa ditutup karena ketiadaan subsidi dari pemerintah. Museum selalu dibayangi keterbatasan dana. Sudah saatnya museum-museum di Indonesia mencari tambahan dari sumber lain. Mereka yang bersedia menjadi sponsor harus diberikan insentif berupa keringanan pajak. Sistem ’bapak angkat’ perlu diperkenalkan oleh museum. Mereka yang mendonasikan dana atau koleksi harus dituliskan namanya atau perusahaannya.

Banyak museum di Indonesia belum mengisi ruang pameran dengan tepat. Artinya ada ruangan yang padat diisi koleksi, di sisi lain ada yang lengang. Pesan yang ingin disampaikan pun belum jelas dimengerti pengunjung. Museum yang baik boleh saja menata koleksi secara kronologis atau tematis. Yang penting harus ada panduan bagi pengunjung untuk masuk dan keluar ruangan. Banyak museum sengaja menatanya seperti lorong. Vitrin-vitrin diletakkan di kanan kiri dengan jarak hanya sekitar satu setengah meter. Jelas ini kiat agar pengunjung tidak terlalu jauh mencapai vitrin satu ke vitrin lain. Bagaimana pun bentuk penempatan vitrin, yang penting jalan cerita harus informatif. Bukan tidak mungkin hal demikian akan mengakrabkan museum dengan pengunjung.

Jalan cerita boleh saja diperbarui secara berkala. Ini mengingat adanya kemungkinan hasil analisis atau penafsiran baru terhadap suatu koleksi. Penataan pameran tetap juga harus diganti secara periodik dengan melakukan rotasi koleksi agar pengunjung tidak merasa bosan.

Sebaiknya di setiap ruangan ada koleksi adikarya. Agar menarik pengunjung, koleksi ini harus ditempatkan agak berbeda, misalnya di sebuah tatakan yang dapat berputar. Dengan demikian pengunjung dapat mengamati seluruh bagian koleksi tanpa bersusah payah.

Untuk menarik pengunjung, pameran museum harus didukung teknik virtual melalui internet. Tentu saja terlebih dulu museum tersebut harus mempunyai website. Tampilan yang menarik dapat saja mengundang rasa penasaran pengakses website museum. Informasi dalam website harus dibuat sedemikian rupa, yakni tidak lengkap atau hanya sepotong. Selanjutnya diberikan alternatif demikian,”Informasi lebih lengkap dapat dilihat di Ruang sekian, Vitrin nomor sekian”. Petunjuk demikian jelas memudahkan pengunjung yang memerlukan informasi. Kemungkinan besar, mereka akan datang langsung ke museum.

Sesuai perkembangan zaman, museum harus dibuat modern dengan kelengkapan teknologi informasi. Salah satu museum modern, Museum Bank Indonesia, sudah memiliki teknologi demikian. Banyak pihak terlibat dalam perancangan tata pamer museum itu. Karena menampilkan sesuatu yang baru, museum ini cepat dikenal masyarakat. Bahkan menjadi salah satu museum terbaik di Indonesia. Jelas, peran pemerintah amat besar, terutama dalam hal penggelontoran dana, mengingat Museum Bank Indonesia masih menggratiskan setiap pengunjung.

Museum merupakan sebuah sistem. Jadi pengelolaannya memerlukan ketajaman pemikiran banyak pihak. Kerja sama antarunit di museum amat dituntut. Peran bagian pemasaran dan hubungan masyarakat perlu ditingkatkan. Untuk saat sekarang, museum masih perlu dibantu pihak-pihak lain. Tata pamer di sejumlah museum memang sudah kelihatan lebih apik berkat adanya revitalisasi museum. Mudah-mudahan ke depan lebih banyak museum mendapat giliran revitalisasi sehingga museum dapat mengabdi kepada negara dan masyarakat.

Daftar Pustaka
Akbar, Ali. Museum di Indonesia: Kendala dan Harapan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2010.

Bundhowi, M. ”Renungan tentang Permuseuman: Memandang Sebuah Paradigma untuk Kita Semua,” makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo, 13-16 Juni 2008.

Kartiwa, Suwati. ”Rancangan Penyajian Suatu Pameran Museum,” Laporan Tata Pameran Museum Sejarah Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1986.

Soemadio, Bambang. ”Program Edukasi di Museum Indonesia,” Laporan Tata Pameran Museum Sejarah Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1986.

Welck, Karin v. ”Situasi Museum-museum di Eropa Barat Khususnya di Republik Federal Jerman Dewasa Ini,” Laporan Tata Pameran Museum Sejarah Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1986.

*Pernah dimuat dalam Majalah Museografia edisi Desember 2011

Djulianto Susantio
Pemerhati Museum


Tinggalkan komentar

Kategori