Oleh: museumku | 11 Januari 2012

Sejarah Permuseuman di Indonesia (Bagian 1)

Judul: Sejarah Permuseuman di Indonesia

Tim Penulis: Agus Aris Munandar, Andini Perdana, Andriyati Rahayu, Annissa Maulina Gultom, Djulianto Susantio, Luthfi Asiarto, Nunus Supardi, R. Tjahjopurnomo, dan Yunus Arbi

Penata Letak: Sukasno

Penerbit: Direktorat Permuseuman

Cetakan: I

Tahun: 2011

Akhir Desember 2011, Direktorat Permuseuman menerbitkan buku Sejarah Permuseuman di Indonesia. Diharapkan buku ini bermanfaat untuk kalangan museum, mahasiswa, dan masyarakat awam. Selain dalam bentuk cetak, seluruh materi buku akan dimuat dalam blog ini. Selamat membaca.

Bab 1
PENDAHULUAN

1.1 Pengantar dan Latar Belakang
Sejak masa prasejarah hingga sekarang, kebudayaan Indonesia senantiasa mengalami proses dinamika. Kebudayaan kerap kali dalam transisi untuk menerima hal baru, bahkan ada kecenderungan untuk mempertahankan yang lama. Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Indonesia didasarkan kepada proses dialog, memakan waktu cukup lama untuk menghasilkan bentuk kebudayaan baru yang dapat diterima oleh seluruh warga bangsa. Proses dialog dengan unsur-unsur kebudayaan asing, telah terjadi sejak masa protosejarah. Dalam era tersebut pengaruh kebudayaan sejenis yang datang dari luar kepulauan Nusantara, terutama dari daratan Asia Tenggara, mulai masuk dan diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

Sebagai contoh adalah diterimanya pengaruh kebudayaan perunggu Dong-son, yang pada mulanya berkembang di wilayah Vietnam bagian utara. Kebudayaan Dong-son tersebut kemungkinan diperkenalkan kepada penduduk kepulauan Nusantara melalui adanya pelayaran antarpantai dan antarpulau di kawasan Asia Tenggara. Penduduk Nusantara agaknya tidak menerima begitu saja pengaruh dari kebudayaan perunggu Dong-son. Leluhur bangsa Indonesia mengolah lagi pengaruh yang datang tersebut dan kemudian mencoba memproduksi sendiri barang-barang perunggu yang hampir sejenis dengan yang ditemukan di situs Dong-son. Kebudayaan perunggu di Nusantara selanjutnya dapat disebut mempunyai corak tersendiri yang dinamakan kebudayaan perunggu Dong-son selatan.

Demikian pula ketika pengaruh kebudayaan India mulai masuk ke Nusantara. Proses akulturasi terjadi tidak dalam masa singkat, melainkan memerlukan waktu lama sepanjang abad-abad pertama tarikh Masehi hingga berkembangnya kerajaan pertama yang bercorak kebudayaan India di Jawa bagian barat (Tarumanagara) dan Kalimantan Timur (Kutai Kuno). Sebenarnya hanya tiga anasir budaya penting dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia, yaitu (a) agama Hindu-Buddha, (b) Aksara Pallawa, dan (c) sistem penghitungan angka tahun (Kalender Saka). Dari ketiga anasir itulah kemudian kebudayaan awal dalam masa sejarah Indonesia berkembang pesat dengan menghasilkan banyak tonggak peradaban yang akan diacu hingga masa Indonesia merdeka.

Masa perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara, juga dapat terjadi berkat proses transisi dan dialog dari penduduk Nusantara yang telah mengembangkan kebudayaan sebelumnya, dengan agama Islam yang baru diperkenalkan dalam masa yang lebih kemudian. Kebudayaan Islam Nusantara telah memperkaya peradaban Indonesia selanjutnya. Selain perkembangan agama juga terdapat bermacam anasir budaya lainnya, seperti penghitungan tahun Hijriah dan aksara Arab. Dari periode ke periode perkembangan kebudayaan Indonesia senantiasa berlangsung dengan melalui masa transisi yang dapat menyaring mana anasir luar yang baik dan mana pula yang tidak dapat diterima.

Penerimaan anasir kebudayaan luar tersebut tentu didasarkan kepada beberapa faktor, antara lain anasir kebudayaan luar merupakan hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dan adanya kebutuhan di pihak masyarakat pribumi untuk menerima anasir kebudayaan dari luar. Dua faktor itulah yang sejatinya menjadi dasar penerimaan berbagai anasir kebudayaan luar yang akhirnya mempercepat dan memperkaya perkembangan kebudayaan di Nusantara.

Perkembangan kebudayaan di Indonesia mempunyai tahapan yang berbeda-beda di tiap daerah dan mempunyai bentuk beraneka, sehingga secara budaya setiap wilayah Nusantara sejatinya merupakan bentuk budaya unikum dan tidak dijumpai di lingkup budaya daerah lainnya. Kebudayaan unikum di tiap daerah adalah cerminan dari kepribadian bangsa yang merupakan refleksi dari jati diri bangsa Indonesia. Ketika kebudayaan di tiap daerah tersebut diharapkan untuk tetap menjadi acuan dari generasi ke generasi berikutnya, sebagai simbol hakikat kebangsaan, maka diperlukan adanya pendokumentasian, inventarisasi, dan juga pengenalan kepada khalayak dari berbagai daerah. Saat itulah lembaga yang disebut museum sangat diperlukan. Dalam hal ini kaitan antara lembaga museum dan kebudayaan nasional beserta kebudayaan daerah yang unikum menjadi jelas. Museum adalah lembaga bagi kebanggaan perkembangan kebudayaan di tiap daerah di Nusantara.

Dewasa ini telah banyak didirikan museum di seluruh wilayah Indonesia. Agaknya telah tumbuh kebanggaan kepada pentingnya kebudayaan daerah sebagai komponen penegak kebudayaan nasional. Setiap peninggalan yang berhubungan dengan perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia dapat dijadikan koleksi museum. Begitu pun setiap hasil kebudayaan etnik, dapat dijadikan bahan yang dipamerkan dalam museum-museum. Kehadiran museum mutlak adanya di Indonesia.

Walaupun kesadaran sejarah telah meningkat dan pembangunan bermacam museum terus terjadi, akar terbentuknya lembaga museum dan perkembangan lembaga tersebut masih belum banyak diketahui oleh insan permuseuman itu sendiri, apalagi oleh masyarakat luas. Pengetahuan tentang ikhwal terbentuknya museum dan perkembangan selanjutnya masih sangat parsial dan belum diintegrasikan ke dalam kesatuan narasi yang memadai. Karena itulah perlu segera disusun suatu buku khusus yang mendiskusikan permasalahan tersebut, sebelum pengetahuan tersebut terlupakan dan sukar untuk ditelusuri kembali. Buku yang perlu disusun adalah yang berisikan uraian tentang awal tumbuh dan berkembangnya permuseuman. Buku tersebut kemudian diberi judul Sejarah Permuseuman di Indonesia. Diharapkan dapat menjadi buku acuan bagi para peminat dan insan permuseuman pada umumnya di Indonesia

1.2 Benih-benih Permuseuman Indonesia
Sejak kehadiran manusia di muka bumi, mereka sudah memperlihatkan kegemaran mengumpulkan sesuatu yang dipandang menarik atau unik. Hal ini ditunjukkan oleh adanya temuan-serta pada makam-makam prasejarah di berbagai negara. Kemungkinan besar temuan-temuan itu merupakan benda-benda koleksi si mati semasa hidup.

Kegemaran mengumpulkan benda rupa-rupanya sudah dikenal sejak lama sebagaimana tergambar dari kata museum (Yunani, mouseion), yakni ’kuil untuk memuja dewi-dewi inspirasi, pembelajaran, dan patron seni’ (Akbar, 2010: 3). Di Mesopotamia museum dalam bentuknya yang paling primitif, dikenal pada awal milenium ke-2 SM. Di Sumeria pada abad ke-6 SM, menurut Kotler (2008) yang dikutip Akbar (2010), para raja sudah mengoleksi benda-benda antik. Koleksi-koleksi tersebut disimpan di ruangan dekat kuil mereka masing-masing.

Di Eropa terutama Yunani dan Romawi, benih-benih permuseuman lahir akibat peperangan. Biasanya kerajaan yang menguasai wilayah lain akan membawa banyak pampasan perang. Keadaan yang lebih baik mulai terjadi setelah masa Renaisans atau ’Kelahiran Kembali’ pada abad ke-15 M. Renaisans terkait dengan ilmu pengetahuan dan kalangan elit (bangsawan, hartawan, tokoh politik, dan pemuka gereja).

Lahirnya museum juga tidak lepas dari hobi kalangan terpelajar dan bangsawan Eropa untuk mengumpulkan benda-benda kuno. Ketika itu benda-benda kuno terlebih yang dianggap menarik, indah, aneh, atau langka, amat diminati. Apalagi yang berasal dari suatu zaman yang disebut-sebut oleh kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Kalangan ini lazim disebut antiquarian.

Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Eropa, sehingga berbagai ilmu berkembang dengan pesat. Bersamaan dengan itu, para pedagang barang antik juga mempunyai naluri bisnis. Mereka sering bepergian ke berbagai tempat, termasuk ke negara-negara non Eropa. Dari sana mereka membawa berbagai kisah dan benda dari negara-negara yang mereka kunjungi. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak terdapat kebudayaan lain.
Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan minat yang mula-mula terpusat pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang berada dan terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut kemudian disimpan dalam suatu tempat. Mereka saling mempertontonkan koleksi, bahkan secara berkala mereka bertemu untuk mendiskusikan benda-benda tersebut. Namun ’museum’ yang mereka bangun belum terbuka untuk umum, biasanya mereka hanya mengundang kalangan terbatas untuk berkunjung.

Mencari rempah-rempah di Nusantara, sebenarnya merupakan tujuan utama bangsa Eropa datang ke sini. Sebagai negara tropis, tentu saja banyak hal tidak dapat dijumpai di Eropa. Rupa-rupanya mereka tertarik dengan flora, fauna, dan budaya Nusantara yang dianggap eksotik. Karena rasa keingintahuan yang besar, maka mereka melakukan berbagai ekspedisi dan penelitian ilmiah sampai ke daerah pedalaman.

Peneliti yang paling sering disebut adalah Georg Eberhard Rumpf (1628-1702). Dia seorang naturalis kelahiran Jerman tetapi bekerja untuk VOC. Pada 1660 ketika menjadi saudagar, Rumpf mulai tertarik kepada dunia alam Pulau Ambon. Pada 1662 dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di rumahnya. Sejak itu namanya lebih terkenal sebagai Rumphius sesuai selera ilmu pengetahuan pada zaman Renaisans yang gandrung akan nama-nama Latin atau Yunani.

Di Batavia, sejumlah orang Eropa mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778. Berbagai benda arkeologi dan etnografi milik para kolektor dan cendekiawan dikumpulkan di sini, antara lain milik J.C.M. Radermacher (1741-1783) dan Egbert Willem van Orsoy de Flines (1886-1964). Radermacher adalah kolektor numismatik, sementara Orsoy de Flines adalah kolektor keramik. Lembaga ini menjadi cikal bakal Museum Nasional.

Raden Saleh Sjarif Bustaman (1814-1880) selain sebagai pelukis, dikenal sebagai bangsawan dan ilmuwan. Dia sering melakukan perjalanan budaya ke Jawa untuk mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Bahkan Raden Saleh sering kali melakukan ekskavasi untuk mencari fosil. Sumbangan Raden Saleh terhadap Bataviaasch Genootschap dinilai sangat besar. Demikian pula F.W. Junghuhn (1809-1864). Dia menyumbangkan temuan-temuan fosil mamalia. Sumbangan lain untuk Bataviaasch Genootschaap datang dari Bupati Galuh, Kinsbergen, dan Canter Visscher.

Di tanah Jawa beberapa bangsawan juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java Instituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Yayasan itu berdiri pada 1919 di Surakarta dipelopori oleh sejumlah ilmuwan Belanda. Museum Sonobudojo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada 6 November 1935.

R.A.A. Kromodjojo Adinegoro mempunyai andil dalam mengumpulkan koleksi di daerah Trowulan, Jawa Timur. Pada 1912 dia mendirikan Museum Mojokerto, namun sisa-sisanya sukar dilacak kembali. Pada 1924 arsitek Belanda Ir. Henry Maclaine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereniging Majapahit (OVM). Museum Mpu Tantular, juga di Jawa Timur, merupakan kelanjutan dari Stedelijk Historisch Museum Surabaya, didirikan oleh Godfried Hariowald Von Faber pada 1933 dan diresmikan pada 25 Juni 1937. Selain di Jawa, museum sejarah dan kebudayaan didirikan di Bali. Pemrakarsanya adalah Dr. W.F.J. Kroon didukung para raja dan bangsawan Bali. Museum Bali dibuka secara resmi pada 1932. Di Bukittinggi pada 1935 diresmikan Museum Rumah Adat Baanjuang. Pendirinya adalah seorang Belanda, Mondelar. Museum-museum tersebut umumnya merupakan bagian dari bidang sejarah dan kebudayaan.

Museum-museum bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan di Bogor, yakni Museum Zoologi (1894). Pendirinya adalah Dr. J.C. Koningsberger. Di Bandung, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Museum Geologi (1929).

Demikianlah sedikit gambaran tentang upaya pendirian museum yang dilakukan oleh kalangan bangsawan, kolektor, dan cendekiawan. Uraian lebih lengkap terdapat pada Bab II dan Bab III buku ini.

Semua langkah awal pembangunan museum di Indonesia tersebut harus dapat didokumentasikan secara baik. Sejalan dengan tujuan tersebut maka perlu disusun sebuah buku yang dapat merangkum perjalanan sejarah permuseuman di Indonesia. Diharapkan buku tersebut dapat menjadi referensi dalam membincangkan permuseuman Indonesia.

1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan penyusunan buku Sejarah Permuseuman di Indonesia, antara lain adalah:

  1. Menyusun pengetahuan tentang awal tumbuh dan berkembangnya lembaga museum di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda hingga masa Indonesia merdeka. Pengetahuan tersebut ditata dan dituangkan dalam bentuk buku dengan narasi yang mudah dipahami oleh para pembaca.
  2. Sebagai sarana pembinaan permuseuman di Indonesia agar dapat mengenal riwayat pertumbuhan permuseuman Indonesia.
  3. Menjelaskan bahwa museum-museum Indonesia adalah lembaga yang berkenaan dengan kebudayaan Indonesia, walaupun pada awalnya didirikan oleh bangsa asing ketika zaman penjajahan Belanda.
  4. Mengembangkan permuseuman Indonesia agar menjadi lembaga yang dapat menunjang pembangunan manusia Indonesia.
  5. Menyediakan pustaka yang layak dibaca bagi pendalaman pendidikan permuseuman di Indonesia dalam tingkat strata satu ataupun juga sebagai buku pendukung perkuliahan program pascasarjana permuseuman di Indonesia.

Adapun yang menjadi sasaran khalayak pembaca adalah:

  1. Insan permuseuman adalah mereka yang bekerja dan mengabdi di bidang permuseuman di Indonesia.
  2. Para pengajar di perguruan tinggi, terutama yang memberikan materi disiplin sejarah kebudayaan.
  3. Para mahasiswa yang belajar disiplin kebudayaan secara umum dan juga yang belajar ilmu permuseuman secara khusus.
  4. Masyarakat Indonesia pada umumnya, para pemerhati kebudayaan, kaum cerdik cendekia, dan mereka yang berkehendak menambah wawasan pengetahuan tentang permuseuman di negerinya sendiri.
  5. Pembaca warga negara asing yang berminat untuk mengakrabi sejarah perkembangan permuseuman Indonesia, tentu saja setelah buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris.

1.4 Ruang Lingkup
Kajian penulisan buku ini mempunyai batas-batas yang telah ditentukan. Oleh karena itu pembicaraan diusahakan tidak akan melampaui batas-batas kajian tersebut. Kajian ini berkenaan dengan permuseuman di Indonesia, secara khusus adalah uraian perkembangan permuseuman di wilayah Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan. Kajian dalam buku ini tidak membincangkan manajemen koleksi, tata pamer, konservasi koleksi, atau pengembangan kemampuan kurator, melainkan hanya membicarakan perkembangan permuseuman dalam perjalanan sejarahnya dan juga suatu deskripsi tentang prediksi perkembangan permuseuman Indonesia di masa mendatang.

Beberapa batasan digunakan dalam uraian kajian ini agar terdapat kekonsistenan pengertian yang tetap dipertahankan sejak bab-bab awal hingga bab terakhir. Beberapa pengertian yang harus dipahami dengan baik antara lain adalah sebagai berikut:
Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan penelitian, pendidikan dan hiburan, benda-benda bukti material manusia dan lingkungannya (Ishaq 1999/2000: 15). Pengertian museum menurut International Council of Museums yang dirumuskan pada 1974 adalah:
“A museum is a non-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates, and exhibits, for purpose of study, education and enjoyment, material evidence of man and his environment”.

Adapun pengertian Permuseuman adalah segala hal atau seluk beluk dan sistem yang berkenaan dengan museum. Selain itu belakangan ini juga dikumandangkan perihal Tiga Pilar Permuseuman Indonesia yang sejatinya telah lama diperkenalkan, namun sekarang memperoleh semangatnya kembali. Tiga pilar permuseuman Indonesia mengemukakan bahwa museum-museum Indonesia selayaknya:
a. mampu mencerdaskan kehidupan bangsa,
b. membentuk kepribadian bangsa, dan
c. mengokohkan ketahanan nasional dan Wawasan Nusantara (Sutaarga, 1989/1990: 84).

Perlu pula dijelaskan bahwa yang dibicarakan dalam buku adalah perihal museum di Indonesia yang jika dipandang dari sudut karakter dan isi museum dapat disebut sebagai Museum Indonesia. Museum Indonesia adalah lembaga museum yang didirikan di Indonesia atau di luar Indonesia yang koleksinya bernapaskan kebudayaan Indonesia, bercita rasa Indonesia, dan mengungkapkan perkembangan atau khasanah kebudayaan Indonesia. Museum Indonesia juga dibangun untuk keperluan masyarakat Indonesia yang mempunyai tradisi tersendiri dalam menghargai pusaka nenek moyangnya. Selain itu Museum Indonesia juga didirikan untuk keperluan diplomasi kebudayaan dan pengenalan Indonesia kepada masyarakat dunia.

1.5 Susunan Isi Buku
Buku ini terbagi atas beberapa bab untuk memudahkan para pembaca dalam menyimak uraian isinya. Susunan bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan
Berisikan uraian tentang latar belakang dan argumentasi penulisan buku, awal pangkal permuseuman di Indonesia, tujuan dan sasaran penulisan, batasan dan konsep dalam ruang lingkup, dan susunan garis besar isi buku.

Bab II Museum-museum Prakemerdekaan
Berisikan uraian perihal pergeseran tradisi museum yang semula secara tradisional ke arah museum bergaya barat (Belanda), terdapat bentuk kesadaran bahwa penyimpanan pusaka warisan leluhur adalah suatu bentuk yang dapat menghasilkan ilmu pengetahuan tersendiri. Menguraikan juga perihal kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk pengembangan permuseuman di Hindia Belanda.

Bab III Museum-museum Setelah Indonesia Merdeka
Menguraikan masa peralihan permuseuman dari tradisi pengelolaan kolonial menjadi bentuk pengelolaan oleh bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan, membincangkan juga perihal kebijakan pemerintah Republik Indonesia sebelum dan setelah pencanangan otonomi daerah, antara lain tentang kebijakan pembakuan museum, standarisasi museum, dan kebijakan pameran. Diuraikan juga beberapa museum tertentu di Indonesia yang mempunyai keistimewaannya masing-masing.

Bab IV Museum Indonesia Ke Depan
Berisi uraian tentang upaya mengubah paradigma museum Indonesia untuk lebih ”menghadirkan” museum di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berisikan juga upaya perkembangan permuseuman berdasarkan kepada tiga pilar permuseuman Indonesia, peran museum dalam diplomasi budaya, dan museum yang sejalan dengan gagasan keindonesiaan (museum ideal Indonesia) yang mengacu kepada regulasi permuseuman Indonesia, ICOM, ICOMOS, dan UNESCO).

Bab V Penutup
Berisikan uraian-uraian kesimpulan dan sintesis dari berbagai argumentasi dan diskusi yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.

(Lihat Bagian 2)


Tanggapan

  1. Sekadar tambahan ………
    Di Jambi pun pada 1912 pernah berdiri sebuah museum perdagangan dan etnografi, seperti yang ditulis dalam “Beknopte Nota Over de Afdeeling Djambi”, dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur. Drie en veertigste deel. Batavia: Kolff & co. 1912.

    • Mas Budi, terima kasih infonya. Sesuai perkembangan, tentu saja harus ada revisi buku.

  2. Dimana buku ini dapat diperoleh? 🙂

    • Buku ini tidak dijual, bisa diperoleh di Direktorat Permuseuman di Jakarta dengan membawa surat pengantar, demikian info dari saya.

      • Ok. Terima kasih banyak 🙂

  3. Saya ira,salah satu mahasiswi arsitektur di ITS.
    Berhubung saya memilih museum sebagai obyek rancang tugas akhir saya, saya ingin mengetahui lebih jauh soal museum. Apakah buku ini hanya bisa d dapatkan d Jakarta?? terima kasih 🙂

    • Ya betul Mbak. Buku ini tidak dijual. Dicetak pun terbatas. Silakan hubungi Direktorat Permuseuman, lihat ‘Kontak’.

  4. saya ian, salah satu mahasiswa unkhair kebutulan tugas akhir saya tentang museum maritim, bagaimana klo kita tinggal di luar jakarta seperti di ternate untuk mendapatkan buku it


Tinggalkan komentar

Kategori