Oleh: museumku | 31 Mei 2014

Dari Stasiun Menjadi Museum

Ambarawa-01Bangunan Stasiun Ambarawa yang sekarang menjadi museum

Sejarah perkeretaapian di Nusantara, khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari Ambarawa di Jawa Tengah. Pada zaman kolonial Belanda, Ambarawa merupakan sebuah kota militer. Maka untuk menancapkan kekuasaan di Nusantara, Raja Belanda waktu itu, Willem I, memerintahkan pembangunan stasiun kereta api baru.

Sebelumnya stasiun kereta api sudah ada di Semarang. Dengan stasiun baru itu diharapkan pemerintah kolonial dapat dengan cepat mengangkut tentaranya ke Semarang. Stasiun Ambarawa dibangun di atas tanah seluas 127.500 meter persegi dan mulai beroperasi pada 21 Mei 1873. Stasiun itu kemudian diberi nama Willem I. Pada awalnya bangunan Stasiun Willem I dibuat dari kayu.

Namun jalur di wilayah itu memiliki tingkat kesulitan tinggi dibandingkan jalur sebelumnya. Selain harus melewati sungai, jalur dari Jambu menuju Gemawang harus melewati bukit yang terjal dengan kemiringan topografi 65 derajat. Oleh karena itu untuk menghemat biaya, dibangunlah rel bergigi sepanjang 6,5 kilometer dilengkapi lokomotif uap bergigi. Pembangunnya adalah Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS). Jalur ini resmi beroperasi 1 Februari 1905. Di jalur ini tujuan transportasi kereta api untuk kegiatan militer lebih diutamakan karena laju lokomotif uap hanya mampu merambat dalam kecepatan terbatas 15 kilometer per jam.

Rel bergerigi dinilai sangat unik karena merupakan satu dari tiga yang masih tersisa di dunia. Dua lainnya ada di Swiss dan India. Museum ini melayani kereta wisata Ambarawa-Bedono, Ambarawa-Tuntang, dan lori wisata Ambarawa-Tuntang.

Stasiun Willem I diperbaiki tahun 1907, menggantikan bangunan lama yang terbuat dari kayu. Sejak itu bangunan utama stasiun berupa struktur baja bentang lebar dengan atap tinggi seperti hanggar yang menaungi peron. Keindahan bangunan ditampilkan melalui ornamentasi geometris berupa list dan moulding dari susunan bata yang ditempelkan pada dinding serta membingkai setiap pintu dan jendela. Gaya ornamentasi seperti ini, sebagaimana termuat dalam website milik Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), diilhami oleh arsitektur Eropa yang populer pada pertengahan abad ke-19. Lantai bangunan masih berupa ubin yang masih asli dan terawat.


Menjadi Museum

Pada 1970-an Stasiun Ambarawa berhenti beroperasi untuk jurusan Ambarawa-Kedungjati-Semarang. Terakhir pada 1976 untuk lintas Ambarawa-Secang-Magelang dan Ambarawa-Parakan-Temanggung. Dengan ditutupnya Stasiun Ambarawa, maka pada 8 April 1976 Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksploitasi Tengah Soeharso memutuskan Stasiun Ambarawa menjadi museum kereta api. Stasiun Ambarawa resmi berfungsi menjadi museum sejak 21 April 1978. Pada 2002 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah merevitalisasi bangunan stasiun tua tersebut.

Museum Ambarawa menyimpan sedikitnya 21 buah lokomotif kuno buatan tahun 1891-1928. Koleksi tersebut memiliki andil dalam pertempuran, khususnya mengangkut tentara Indonesia. Salah satunya adalah lokomotif CC50 buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda yang pada masa jayanya diberi julukan Berkoningin atau Ratu Pegunungan. Lokomotif yang diproduksi tahun 1927 ini merupakan loko yang paling gesit menempuh jalur pegunungan yang menanjak dan berliku. Di antara koleksi lokomotif tua tersebut, dua buah masih bisa beroperasi sebagai kereta wisata, yakni kereta uap bergerigi B25 02 dan B25 03 buatan Jerman.

Suasana museum ini masih menunjukkan suasana stasiun kereta api zaman dulu, yang masih terjaga dan terawat rapi. Berada di dalam stasiun kereta api rasanya seperti kembali ke suasana tempo dulu, pengunjung dapat melihat kantor kepala stasiun, ruang tunggu, loket peron, peralatan komunikasi, topi masinis, alat pembolong tiket, stempel, mesin ketik, jam kuno, perabot meja kursi tempo dulu, dan sebagainya.


Kereta Wisata

PT Kereta Api Indonesia menyediakan dua kereta api wisata di Ambarawa. Pertama, kereta wisata rute Ambarawa – Bedono (9 km) dengan lokomotif uap bergigi B25 02 atau B25 03 yang menarik dua kereta penumpang berdinding kayu. Di dinding kereta penumpang tidak ada kaca jendela sehingga penumpang dapat menikmati semilir angin nan sejuk dan indahnya pemandangan selama dua jam perjalanan. Jalur kereta api rute Jambu – Bedono ini berada di ketinggian 693 meter di atas permukaan air laut.

Panorama di sepanjang perjalanan semakin luar biasa. Hamparan Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu menjadi latar belakang yang memesona. Karena letaknya yang cukup tinggi inilah di sepanjang rute Jambu – Bedono terdapat rel bergerigi. Fungsinya adalah untuk menahan agar kereta api tidak mengalami kesulitan menanjaki jalur tersebut. Selain di Ambarawa (Jawa Tengah), rel gerigi di Indonesia yang hingga sekarang masih difungsikan adalah di Sawahlunto (Sumatera Barat).

Kedua, kereta wisata rute Ambarawa – Tuntang (10 km). Pemandangan pada rute ini tidak kalah menariknya. Keindahan Danau Rawa Pening akan menyapa para penumpang kereta wisata di rute tersebut. Saat ini jalur kereta api rute Ambarawa – Tuntang dapat dilalui oleh lokomotif uap dan kereta penumpang. (Djulianto Susantio)


Galeri Foto

Ambarawa-02Bangunan museum dilihat dari luar

AmbarawaKoleksi lokomotif di halaman museum

GerigiKoleksi rel bergerigi

WisataKereta wisata


Tinggalkan komentar

Kategori