Oleh: museumku | 6 Mei 2018

Peluncuran Novel Sejarah tentang Etnis Tionghoa di Museum Sejarah Jakarta

Enru-04Poster Enru (Foto-foto: KPBMI)

Pada tanggal baik dan bulan baik, 5-5 atau 5 Mei 2018, Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) meluncurkan novel sejarah berjudul Enru (1980-1741) karya Lia Zhang di Ruang Theater Museum Sejarah Jakarta. Kegiatan tersebut terlaksana berkat kerja sama dengan Museum Sejarah Jakarta dan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Dalam buku itu dikisahkan Enru Tirtonegoro merupakan seorang direktur kreatif sebuah biro iklan di Jakarta. Suatu ketika, ia mendadak berada di Batavia masa 1720-an. Di Batavia, dari awalnya terus berontak, usaha pulang ke Jakarta sampai akhirnya pasrah mengikuti arus sebagai penduduk Batavia.

Ia mengalami beragam peristiwa dan gejolak politik di masa itu. Keputusan VOC yang bersifat rasial sampai wabah kematian yang mayoritas terjadi hanya pada golongan Eropa. Ia juga menemui masyarakat Tionghoa yang masih terbagi dua kelompok, yakni Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok.

Enru-01

Dari kiri Suma Mihardja (pembahas), Lia Zhang (penulis), Sekar Chamdi (pembahas), dan Rizal Salam (moderator)

Pada akhirnya, setelah dibujuk beberapa orang, ia memutuskan untuk mengubah nasib golongan Tionghoa dan berusaha mengubah sejarah. Namun sayang, faktanya justru ia salah satu yang menorehkan nasib pada Tionghoa sampai abad ke-21 ini dengan terjadinya pembantaian Tionghoa 1740.

“Enru juga menjadi saksi mata ketika seorang Indo-Eropa menjalani hukuman ditarik oleh empat ekor kuda ke empat penjuru di sebuah tempat yang di kemudian hari bernama Pecah Kulit. Sebuah novel yang sangat menarik dan sarat akan sejarah Betawi tempo dulu,” begitu kata Aldi The, seorang pemerhati budaya Tionghoa.

Lihat juga di SINI


Bedah buku

Dalam menulis buku, menurut Lia, ia melakukan berbagai riset kepustakaan antara lain di Perpustakaan Nasional. Ia juga minta pendapat dari sana-sini, seperti ahli sejarah dan ahli budaya Tionghoa. Bahkan Lia sempat berjalan kaki dari satu  tempat ke tempat lain untuk memperkaya gambaran keadaan Batavia tempo dulu.

Sebagian setting buku berlokasi di Stadhuis (Balaikota) yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Saat ini Stadhuis menjadi salah satu ikon kota Jakarta, selain Tugu Monas.

Enru-03

Para peserta bedah buku di Museum Sejarah Jakarta

Bersamaan dengan peluncuran buku. Dilakukan bedah buku dengan pembicara Suma Mihardja (aktivis dan pemerhati sejarah Tionghoa) dan Sekar Chamdi (pegiat literasi).  Bedah buku dimoderatori M. Rizal Salam, mahasiswa arkeologi UI.

Suma mengatakan Jakarta merupakan kota yang multibudaya. Hadirnya buku bernuansa Tionghoa tentu sangat langka. Menurutnya, untuk menilai buku itu, pembaca harus memiliki cukup pengetahuan. Misalnya kalau dikatakan tiga jam perjalanan ke Weltevreden atau Ommelanden itu naik apa. Di mana Batavia dan di mana luar kota Batavia juga diketahui berdasarkan pengetahuan.

Sejak kapan Tionghoa bermukim di Batavia, mengapa disebut angke, dalam buku ada kata kuda, padahal kuda bukan hewan asli Nusantara, ikut disinggung Suma. Begitu juga soal kata hoe dan hu, kapan berubahnya.

Enru-05

Para peserta bedah buku berfoto bersama

Sekar Chamdi menyambut baik buku tersebut karena tidak banyak orang yang berani menulis tentang fiksi Tionghoa. Kritik Sekar, sebagai penulis Lia memposisikan sebagai orang pertama. Namun tiba-tiba pada beberapa halaman terakhir, menjadi sudut pandang orang ketiga. “Bagian akhir agak mengganggu,” kata Sekar.

Hal lain yang diungkapkan Sekar, mengapa penulisnya perempuan tapi mengupasnya secara lelaki. Menurut Sekar selanjutnya, dalam fiksi harus ada logika sains.

Enru-02

Tur museum setelah bedah buku

Novel tentang etnis Tionghoa memang masih jarang ditemui. Saya amati baru Remy Silado yang menulis beberapa buku. Semoga Lia Zhang menjadi penulis muda yang mampu mendekati kemampuan sastrawan senior, Remy Silado.

Oh ya, buku setebal 500 halaman ini dijual seharga Rp180.000. Silakan hubungi pos elektronik kpbmi2017@gmail.com atau WA ke Dhanu di nomor 0838-7494-8510. Bisa juga ke Museum Sejarah Jakarta atau populer disebut Museum Fatahillah.

Seusai bedah buku, peserta diajak melakukan tur museum dengan pemandu dari Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI).***


Tinggalkan komentar

Kategori