Oleh: museumku | 26 Januari 2012

Museum Dr Adhyatma, MPH, Lebih Dikenal sebagai “Museum Santet”

(foto:SH/Achmad Faizal)

Sinar Harapan, Rabu, 25 Januari 2012 – Menyimpan benda tajam di bawah tempat tidur bagi perempuan yang habis melahirkan, menggunakan boneka dalam mendiagnosis penyakit, atau memanfaatkan benda pusaka sebagai penyangkal roh atau kekuatan jahat, mungkin merupakan hal yang aneh bagi sebagian orang khususnya masyarakat perkotaan yang merasa memiliki pola pikir modern.

Ritual tradisional semacam itu dianggapnya sebagai warisan nenek moyang yang saat ini tidak relevan lagi digunakan. Nyatanya, demikianlah bentuk ritual kesehatan asli masyarakat kita. Bahkan, pada ritual yang lebih ekstrem sekalipun seperti mengurung anak dalam kurungan ayam untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu.

Puluhan jenis benda yang menggambarkan simbol praktik kesehatan tradisional dikoleksi di Museum Kesehatan Dr Adhyatma, MPH di Jl Indrapura 17, Surabaya.

Dalam museum yang diresmikan pada September 2004 tersebut, terdapat puluhan jenis benda kesehatan tradisional dari berbagai daerah, agama maupun suku di Indonesia yang diyakini sebagai sarana kesehatan atau mempunyai kekuatan khusus untuk menyembuhkan penyakit atau menolak gangguan kekuatan jahat. Di kalangan masyarakat, museum ini lebih dikenal dengan nama “Museum Santet”.

Seperti bambu bertuah atau ranting bambu yang bercabang untuk menolak segala penyakit yang ditemukan di Lamongan, alat pemotong tali pusat dari bambu yang berasal dari Papua, kayu santen dari Banyuwangi untuk menolak santet atau tenung, kumparan penangkal untuk menetralkan pengaruh gelombang elektromagnetik dari Surabaya, serta tumor yang berhasil diangkat melalui operasi tanpa luka dari Banyuwangi.

Museum yang merupakan salah satu unit dari Pusat Penelitian Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Kementerian Kesehatan ini juga menyimpan benda yang dihasilkan dari praktik metafisika berupa tenung atau santet yang berupa benang, karet, paku, atau benda asing lainnya yang berhasil dikeluarkan dari dalam tubuh orang yang terkena santet, serta media-media khusus yang digunakan dalam ritual penyantetan seperti boneka kecil yang ditusuk benda tajam, telur ayam, serta air yang sudah berisi mantra khusus.

Sebagian benda yang ada di dalam museum kesehatan tersebut, menurut Penanggung Jawab Museum Kesehatan Dr Adhyatma, MPH, Mabaroch, awalnya hanya koleksi pribadi seorang peneliti kesehatan yang juga perintis museum kesehatan bernama Hariyadi Soeparto.

Dia mendapatkan benda-benda tersebut dari berbagai daerah di Indonesia saat dia melakukan penelitian. “Meskipun sudah ditetapkan sebagai museum umum, demi prinsip kelengkapan museum, pihak museum hingga kini masih menerima benda-benda kesehatan tradisional lainnya dari masyarakat yang layak dikoleksi,” katanya, Selasa (24/1).


Fenomena Kesehatan Tradisional

Didirikannya sasana kesehatan tradisional tersebut semata-mata bukan untuk melegalkan fenomena kesehatan tradisional, namun sebagai upaya pencerahan bagi masyarakat bahwa di tengah-tengah mereka terdapat fenomena kesehatan warisan nenek moyang yang mungkin tidak dapat diterima secara medis dan akal sehat oleh sebagian orang, namun nyata keberadaannya.

Fenomena tersebut justru menjadi tantangan bagi kalangan kedokteran khususnya mahasiswa kedokteran untuk meneliti lebih jauh dan mencari bukti-bukti ilmiah.

Karena itu, selain untuk mengoleksi benda-benda kesehatan, museum juga digunakan sebagai laboratorium penelitian oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, serta sejumlah perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Mabaroch berharap, museum kesehatan tersebut dimanfaatkan sebagai sarana memperluas wawasan tentang kesehatan. “Jika di kampus mereka banyak mengenyam teori kedokteran modern, di museum ini diharapkan mereka dapat memperluas wawasan tentang kesehatan khususnya kesehatan tradisional, ini agar mereka tidak lagi terkejut jika di tengah masyarakat menemui hal-hal yang tidak biasa, namun sering dilakukan masyarakat,” katanya.

Santet, misalnya, hingga kini belum ada teori kedokteran yang mampu menjelaskan secara medis metode transformasi bagaimana benda-benda santet tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia, karena saat difoto, dalam tubuh korban diketahui ada benda asing, namun saat dioperasi, benda-benda tersebut tidak ditemukan.

Ditemui secara terpisah, Ketua Program Studi Pengobatan Tradisional Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dr Arijanto Jonosewojo, membenarkan adanya fenomena kesehatan tradisional tersebut. Dia beranggapan bahwa pengobatan tidak selalu dapat dilakukan dengan cara modern.

Kini, pengobatan juga dilakukan dengan cara-cara tradisional atau dalam ilmu kedokteran disebut pengobatan komplementer alternatif. Pengobatan ini berasal dari praktik-praktik tradisional atau dengan ramuan-ramuan khas alami dari tumbuhan atau biji-bijian yang mengadung zat tertentu yang dapat menyembuhkan sejumlah penyakit.

Perintis Museum Kesehatan, Haryadi Suparto mengatakan, koleksi benda kesehatan tradisional tersebut sebagai upaya mempertahankan tradisi kesehatan masyarakat asli Indonesia yang kini mulai pudar dan bahkan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

“Praktik kesehatan tradisional memang lebih identik dengan masyarakat pedalaman yang secara finansial tidak mampu menjangkau biaya pengobatan modern. Buktinya, air Ponari dari Jombang begitu banyak diminati dan diyakini masyarakat menengah ke bawah untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit,” kata Haryadi. (Achmad Faizal)


Tinggalkan komentar

Kategori