Oleh: museumku | 6 Januari 2014

Memaknai Olahraga dalam Kebudayaan

Olah raga adalah bagian dari kebudayaan yang dikembangkan manusia, dalam kebudayaan dikenal adanya 8 pranata (institution) yang masing-masingnya terdiri atas berbagai aktivitas, kebudayaan materi dan juga gagasan yang melatarbelakanginya. Kedelapan pranata tersebut adalah: pranata domestik, ekonomi, religi, edukasi, ilmu pengetahuan, politik, estetik dan rekreasi, serta pranata somatik (Koentjaraningrat 1980: 25—26). Olah raga dapat dimasukkan ke dalam dua pranata, yaitu pranata estetik dan rekreasi dan pranata somatik yang berkenaan dengan hidup sehat dengan mengurus dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.

Dalam kebudayaan setiap aktivitas manusia tersebut bermakna, umat Hindu-Bali bersembahyang di pura, orang Kristen kebaktian di gereja, dan juga pemeluk Islam menjalankan ibadah sholat 5 waktu tentu ada maknanya. Begitupun nelayan sedang memancing ikan di laut, pendaki gunung, upacara sekatenan di Cirebon juga mengandung makna. Secara garis besar makna dalam kebudayaan dapat digolongkan ke dalam dua hal, yaitu makna yang bersifat sakral karena berhubungan dengan dunia kepercayaan kepada alam gaib, dan makna yang bersifat profan karena dihubungkan dengan kehidupan manusia secara pragmatis dalam kesehariannya.

Aktivitas olahraga dapat dipandang mempunyai makna profan untuk keperluan pragmatis manusia, walaupun merunut sejarahnya ke belakang olahraga pada awalnya juga diabdikan untuk pemujaan dewa-dewa di bukit Olympus pada masa Yunani kuno, berarti bermakna sakral pula. Olahraga dalam fungsinya yang sakral tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang Yunani Kuno, masyarakat Aztec di Amerika Tengah juga telah mengenal kegiatan seperti “sepak bola” yang diadakan di ruang terbuka di tengah kuil mereka. Dalam kegiatan tersebut para pemain harus mampu memasukkan bola ke dalam lubang yang bersifat sakral untuk pemujaan dewata, apabila tidak, maka bencana akan menimpa mereka.

Begitupun dalam masyarakat Nusantara kuno aktivitas “olahraga” ada yang dihubungkan dengan upaya pemujaan dewa. Pendakian gunung-gunung dianggap sebagai bentuk dedikasi kepada nenek moyang yang bersemayam di kawasan puncak, apalagi jika dibarengi dengan ritual pemujaan di puncak gunung tersebut. Berdasarkan data yang tersedia maka dapat dibincangkan beberapa fungsi olahraga di masa silam di Nusantara ketika olah raga masih berkembang dalam masyarakat tradisional.
1.Olah raga sebagai ritual untuk pemujaan kekuatan adikodrati/nenek moyang/dewa
2.Olah raga sebagai penanda status sosial seseorang atau golongan
3.Olah raga sebagai hiburan dan rekreasi
4.Olah raga sebagai upaya untuk menambah nafkah (Munandar 2012: 10).
Fungsi tersebut sekarang menjadi semakin berkembang tidak lagi bermanfaat secara individual, namun juga mempunyai fungsi komunal ketika masyarakat olah raga juga dapat berfungsi sebagai penanda jati diri bangsa, kebanggaan, dan jika berprestasi juga berfungsi sebagai bentuk untuk mempererat rasa kesatuan bangsa.

Selain olahraga mempunyai fungsi secara budaya, aktivitas olahraga tersebut sebenarnya mempunyai makna dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya. Apabila fungsi dapat diamati secara langsung oleh masyarakatnya, karena memang pada kenyataannya demikian, makna adalah arti tersembunyi yang ada dibalik aktivitas manusia atau arti yang tersembunyi di balik benda-benda hasil karya manusia. Upaya untuk mencari makna yang tersembunyi dalam berbagai bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia tersebut sebenarnya merupakan kodrat manusia yang selalu bertanya. Apa makna ini?, apa makna itu?, demikian pertanyaan yang kerapkali dikemukakan jika seorang manusia ingin mengetahui secara lebih dalam dari fenomena kebudayaan tertentu.

Menurut C.S.Peirce, untuk mencari makna fenomena kebudayaan dapat digunakan pendekatan semiotika. Peirce menyatakan bahwa sesuatu yang akan dimaknai dapat dianggap sebagai tanda (sign) yang mempunyai kepada acuan (referent) tertentu. Pertalian (asosiasi) antara sign dan referent itu akan melahirkan 3 sifat, apabila bersifat natural akan melahirkan tanda indeks, jika bersifat formal tanda yang terbentuk adalah ikon, dan apabila bersifat arbitrer melahirkan tanda simbol. Untuk memahami pertalian antara sign dan referent (acuan) serta sifat tanda yang terbentuk, perlu butir ketiga yang dinamakan interpretant yang sebenarnya berupa konsep, maka terbentuk bagan yang dinamakan triadic (triadic) Peirce (van Zoest 1992: 7-8, Munandar 1999: 26, 2004: 164).

Workshop-01

Dapat dikemukakan bahwa kegiatan olahraga sebenarnya adalah suatu tanda (sign) yang dapat dimaknai dan dapat dijelaskan arti yang ada di baliknya. Tanda itu mengacu kepada referent (acuan) tertentu yang merupakan fenomena alam atau kebudayaan yang lain. Keduanya kemudian dihubungkan dengan butir ketiga yang dinamakan dengan interpretant (interpretan) yang dapat dijelaskan sebagai tanda yang berkembang di dalam pikiran si penerima tanda. Setelah si penerima menerima tanda (sign) ia dapat membentuk tanda baru dalam benaknya, tanda itu dapat merupakan tanda yang sepadan atau tanda yang telah berkembang lagi (Zaimar 2008: 4). Pendekatan semiotika tersebut dapat diterapkan dalam aktivitas olaharaga secara umum, atau bagian-bagian dari aktivitas olahraga saja.

Dalam kegiatan olah raga sebenarnya dapat dibagi 3 jenis kegiatan, yaitu (a) untuk keperluan sendiri, (b) untuk dilombakan, dan (c) untuk dipertandingkan. Olah raga untuk keperluan sendiri sebenarnya tidak terukur, suka-suka saja dilakukan oleh seseorang, kapan ia merasa lelah atau cukup ia akan menghentikan kegiatan olahraganya. Lain halnya dengan jenis olah raga yang dilombakan dan dipertandingkan, pastinya akan melibatkan orang lain atau sekelompok olahragawan lain, sebagai lawan atau pesaing dalam lomba. Berikut dicoba untuk mencari makna olahraga yang dilombakan berdasarkan pendekatan semiotika.

BAGAN II: Makna Olahraga Perlombaan

Workshop-02

Dalam olahraga apapun yang berbentuk lomba (atletik, berenang, balap sepeda dan lain-lain) memang yang dicari adalah yang terbaik dalam segi khusus yang telah ditentukan. Olahraga perlombaan tersebut dapat dianggap sebagai tanda yang mengacu kepada referent, yaitu mencari yang “terbaik untuk tujuan yang telah ditentukan”. Hubungan antara tanda dengan acuannya bersifat arbitrer, maka tanda yang terbentuk adalah symbol. Jadi olahraga perlombaan adalah “simbol dari upaya untuk meningkatkan diri sendiri agarlebih baik dari para pesaing”. Dalam pada itu interpretant yang terbentuk adalah olah raga perlombaan sebagai pencarian yang terbaik tanpa gangguan lawan, melainkan dengan upaya sendiri menjadi yang terbaik.

Olahraga yang bersifat pertandingan dapat dijelaskan pula maknanya dalam Bagan III sebagai berikut:

BAGAN III: Makna Olahraga Pertandingan

Workshop-03

Sama dengan olahraga perlombaan, olahraga pertandingan (sepak bola, bolabasket, bela diri, polo air dan sebagainya) dianggap sebagai tanda (sign) yang mengacu kepada referentnya, yaitu mencari yang terbaik dari dua pihak yang berhadapan. Pertalian antara keduanya bersifat arbitrer, tanda yang terbentuk adalah symbol (simbol). Interpretant yang terbentuk adalah pencarian yang terbaik dengan mengganggu/menghambat lawan. Pada akhirnya makna olah raga pertandingan adalah simbol dari “upaya mengalahkan lawan dengan cara-cara yang ksatrya sesuai dengan aturan”.

Dalam pada itu secara umum olahraga dalam kebudayaan dapat dianggap sebagai tanda yang mengacu kepada beberapa referentnya. Olahraga secara mendasar jika dilakukan secara tidak serius adalah kegiatan rekreasi dan pengisi waktu luang, namun jika dilakukan secara sungguh-sungguh merupakan kegiatan pembuktian kemampuan diri, atau pembuktian kelompoknya untuk lebih baik dari kelompok yang lain. Pemaknaan olahraga secara umum dapat dilihat dalam Bagan IV berikut:

BAGAN IV: Makna Olahraga dalam Kebudayaan

Workshop-04

Pada Bagan III terdapat 2 triadic Peirce untuk memaknai olahraga. Jika olahraga (sign) itu dilakukan untuk hiburan semata-mata, maka referentnya adalah “rekreasi dan pengisi waktu” (Acuan 1) yang dilakukan oleh orang(-orang) yang berolahraga itu. Lain halnya apabila olahraga tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh dalam suatu pertandingan atau perlombaan, maka referentnya adalah “pembuktian kemampuan atau prestasi yang dicapai” (Acuan 2). Dalam pada itu hubungan antara olahraga sebagai tanda dengan acuan 1 dan acuan 2 bersifat arbiter keduanya, maka tanda yang dihasilkannya adalah simbol. Dengan demikian olahraga secara umum bermakna rekreasi dan juga bermakna media/aktivitas untuk pembuktian kemampuan atau pembukyian prestasi. Interpretant yang terbentuk adalah perihal konsep olahraga rekreasi dan olahraga prestasi yang tentunya berbeda. Sebenarnya Interpretant tersebut dapat menjadi tanda yang baru (sign 2) yang mempunyai acuan yang berbeda pula, olahraga rekreasi mempunyai acuan baru dan olahraga prestasi juga mempunyai acuan baru yang lain, dengan demikian terbentuk triadik yang baru dan seterusnya tentu mempunyai interpretant yang baru pula, itulah yang dinamakan semiosis dalam upaya pemberian makna. Makalah ringkas ini tidak akan membahas semiosis dari pencarian makna dalam olah raga, karena akan memerlukan perbincangan yang lebih luas lagi.

Perbincangan selanjutnya adalah perihal museum Olahraga itu sendiri, museum tersebut didirikan tentu berkenaan dengan olahraga di Indonesia. Dengan demikian sejatinya dalam museum tersebut terdapat storyline yang menampilkan adanya perjalanan kegiatan olahraga di Indonesia sejak masa silam hingga masa kini. Banyak hal yang bisa disajikan dalam museum tersebut, sudah tentu seluruhnya tentang dunia olahraga Indonesia berserta narasinya. Museum olahraga dewasa ini telah merawat dan menyajikan pameran benda-benda bersejarah hasil prestasi dan dokumentasi para anak bangsa di bidang olahraga, namun tidak hanya hal itu yang dilakukan oleh Museum Olahraga, museum tersebut harus mampu memberikan inspirasi dan memotivasi generasi berikutnya agar dapat berprestasi di bidang olahraga.

Museum olahraga mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan museum-museum lainnya, karena yang dikoleksi tidak hanya benda-benda konkret di bidang prestasi olahraga, namun terdapat hal yang harus dipikirkan sungguh-sungguh, bahwa sejatinya museum tersebut:
1.Mengoleksi prestasi dan kebanggaan
2.Mengoleksi semangat untuk berolahraga, dan
3.Koleksi akan terus bertambah, sejalan dengan prestasi olahraga yang berhasil diraih oleh anak bangsa di bidang olahraga. (Munandar 2012: 15).

Lewat Museum Olahraga Nasional semangat juang di cabang-cabang olahraga tertentu harus mampu ditumbuhkan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh olahragawan terdahulu yang pernah berprestasi. Misalnya Charlie Depthios di bidang angkat berat, Diana Wuisan Tedjakusuma di bidang tenis meja, Donald Pandiangan cabang panahan, Icuk Sugiarto dalam olahraga bulu tangkis, Mandagi bersaudara di bidang terjun payung, dan sederet olahragawan berprestasi lainnya (Anis & Lilianto, 2012).

Apabila Museum Olahraga dihubungkan dengan perkembangan kebudayaan Indonesia, maka museum itu harus dimaknai dalam perkembangan budaya. Apa makna yang paling mendasar dengan didirikannya Museum Olahraga Nasional?, hal itulah yang harus mampu dipahami oleh masyarakat Indonesia dan pengampu Museum Olahraga Nasional secara umum.

BAGAN V: Makna Museum Olahraga Nasional

Workshop-05

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan perihal pendekatan semiotik dengan bagan Triadic Peirce, maka untuk mencari makna dasar pembangunan Museum Olahraga Nasional juga digunakan pula Triadic Peirce. Hanya saja triadic tersebut akan berangkai dalam beberapa tataran pemaknaan yang telah disebutkan sebagai suatu semiosis. Bagan V berikut adalah upaya pemberian makna Museum Olahraga Nasional dalam konteks kebudayaan Indonesia.

Bagan V memperlihatkan upaya pemberian makna Museum Olahraga Nasional dalam Kebudayaan Indonesia secara semiosis, artinya terdapat rangkaian pemaknaan yang menggunakan Triadic Peirce. Pemaknaan dalam semiosis tersebut terjadi pada 3 tataran, tataran yang pertama lebih bersifat konkret karena berkenaan dengan Museum Olahraga nasional secara fisiknya (gedung dan segala isinya), sedangkan tataran ke-2 dan ke-3 lebih bersifat konseptual.

Dalam tataran 1 yang menjadi tanda (sign) adalah Museum Olahraga Nasional, apa yang sebenarnya yang diacu dengan pembangunan museum tersebut?, acuan (referent)nya adalah mendokumentasikan prestasi di bidang olahraga sebagaimana yang telah berhasil direngkuh oleh anak bangsa. Asosiasi antara tanda dengan acuannya bersifat arbitrer lagi karena tidak ada kemiripan antara keduanya, maka tanda yang dihasilkannya adalah simbol. Interpretant yang terbentuk pada tataran 1 adalah konsep tentang “prestasi anak bangsa di bidang olahraga”.

Interpretant tersebut kemudian menjadi tanda 2 yang mempunyai acuannya tersendiri, maka pemaknaan memasuki tataran ke-2. Acuan dari tanda 2 atau acuan prestasi di bidang olahraga, yaitu menjadi kebanggaan bangsa. Tanda yang dihasilkan dalam pertalian antara sign 2 dengan referent 2 bersifat arbitrer dan menghasilkan tanda simbol. Interpretant yang terbentuk pada tataran 2 ini adalah “prestasi yang menjadi kebanggaan bangsa”. Seterusnya interpretant 2 tersebut dapat menjelma menjadi tanda 3 yang mempunyai acuan berikutnya. Maka pemaknaan pun memasuki pada tataran ke-3.

Dalam tataran ke-3 yang menjadi tanda adalah interpretant 2, yaitu “prestasi yang menjadi kebanggaan bangsa”, acuannya adalah bahwa bangsa yang bangga tentunya dicapai oleh kehidupan bangsa yang jaya, jadi acuan dari tanda 3 itu adalah “Kejayaan Bangsa”. Tanda yang terbentuk adalah simbol, jadi “prestasi yang membanggakan bangsa” itu adalah “simbol dari Kejayaan Bangsa”. Interpretant yang terbentuk pada tataran ke-3 adalah “Bangsa yang berjaya”. Agaknya interpretant 3 tidak bisa menjadi tanda yang baru (tanda 4), karena tidak ada lagi yang menjadi acuan. Bangsa yang berjaya adalah bangsa yang sukses dalam segala bidang kehidupan, bangsa yang ditopang oleh kejayaan seluruh warganya, artinya acuan adalah kejayaan itu sendiri. Maka pemberian makna Museum Olahraga Nasional dalam peradaban Indonesia pun terhenti hanya sampai 3 tataran saja.

Setelah melakukan penafsiran makna secara bertingkat tersebut, lalu apa makna sebenarnya dari kehadiran Museum Olahraga Nasional di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Pemberian maknanya adalah dengan cara membaca tanda pertama, “Museum Olahraga Nasional” sebagai simbol dari acuan terakhir, yaitu “Kejayaan Bangsa”. Jadi Museum Olahraga Nasional tersebut didirikan sebagai simbol dari Kejayaan Bangsa di bidang olahraga, hal itulah yang menjadi makna sebenarnya dari Museum Olahraga Nasional.

Tentu saja sebagai simbol kejayaan bangsa di bidang olahraga museum tersebut harus mampu menyempurnakan dirinya dengan berbagai penataan, tidak hanya penataan fisik museum yang berupa gedung, tata pamer, dan koleksinya; namun juga penataan konseptual yang melatarbelakangi tata pameran, penyajian koleksi, dan pengembangan Sumber Daya Manusianya. Penataan yang terakhir itulah yang harus juga diadakan sesuai dengan tuntutan zaman bahwa yang membuat suatu museum itu berkembang, maju, dan dikenal oleh masyarakat adalah berkat kepiawaian dan kreativitas sumber daya manusianya yang memang bertekad untuk memajukan museum.


PUSTAKA ACUAN:

Anis, Moch. & Lilianto (Editor), 2012. Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967—1987). Jakarta: Museum Olahraga Nasional, Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga, Kementrian Pemuda dan Olahraga.

Koentjaraningrat, 1980. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Munandar, Agus Aris, 2004. “Menggapai Titik Suci: Interpretasi Semiotika atas Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno”, dalam T.Christomy & Untung Yuwono (Penyunting). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia. Halaman 161—180.

————-, 2012. “Prestasi-prestasi Peradaban Nusantara”, makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop Permuseuman dengan tema “Museum Olahraga Nasional sebagai tempat Informasi dan Edukasi membangun Citra Prestasi Olahraga”, Museum Olahraga Nasional, Kementrian Pemuda dan Olahraga, Desa Wisata TMII, 29—30 Oktober.

Van Zoest, Aart. 1992. “Interpretasi dan Semiotika” dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (Penyunting). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 1—25.

Zaimar, Okke K.S., 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

—————-

*Makalah dipresentasikan dalam Workshop Permuseuman yang diadakan oleh Museum Olahraga Nasional, Kementrian Pemuda dan Olahraga di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, 24 Desember 2012.

Oleh: Prof. Dr. Agus Aris Munandar
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia


Bio Data Ringkas

Nama: Agus Aris Munandar

Tempat, Tanggal Lahir: Indramayu (Jawa Barat), 13 Juli 1959

Pekerjaan: Pengajar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1987—sekarang).

Peminatan Kajian: arkeologi Hindu-Buddha dan Islam, Sejarah Kuno Indonesia, Sejarah kuno Asia Tenggara, Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara, dan Permuseuman.

Jabatan: Guru Besar tetap arkeologi Indonesia (2010—sekarang)

Alamat: Departemen Arkeologi, Gedung 3, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 16424.

Pendidikan:
S1 Program Studi Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lulus tahun 1984
S2 Program Studi Arkeologi, Program Pascasarjana (PPs) Universitas Indonesia, lulus tahun 1990
S3 Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, lulus tahun 1999, dengan judicium cumclaude. Judul disertasi Pelebahan Upaya Pemberian Makna pada Puri-puri Bali abad ke-14—15.

Buku yang telah dihasilkan antara lain:
1.Istana Dewa Pulau Dewata (Komunitas Bambu, 2005)
2.Bangunan Suci Sunda Kuna (Wedatama Widya Sastra (WWS), 2011)
3.Catuspatha: Arkeologi Majapahit (WWS, 2011).
4.Tidak ada Kanal di Majapahit (WWS, 2013)


Tanggapan

  1. membudayakan olah raga juga menggalang persatuan dalam perbedaan.


Tinggalkan komentar

Kategori