Oleh: museumku | 16 November 2016

Peran Museum dalam Pelestarian Wastra Nusantara

harry-01Motif batik pada arca Harihara koleksi Museum Nasional

Senin, 14 November 2016 Museum Nasional bekerja sama dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman menyelenggarakan  seminar bertajuk “Lestari Wastraku, Lestari Negeriku”. Pameran ini berlangsung setelah pembukaan pameran kain tradisional Indonesia bertema “Seribu Nuansa, Satu Indonesia”. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Dr. Harry Widianto tampil sebagai pembicara kunci. Beliau membawakan paparan berjudul “Peran Museum dalam Pelestarian Wastra Nusantara”. Berikut ini intisari paparan beliau:

Menurut Harry,  dalam Kamus Bahasa Sanskerta, wastra berarti ‘kain’. Sementara Wastra Nusantara diartikan sebagai kain yang dibuat secara tradisional sebagai warisan budaya Bangsa Indonesia yang memiliki makna. Dalam kain tradisional, terkandung banyak warisan budaya tak-benda, yakni tradisi, makna filosofi, dan teknik pembuatan.

‘Pakaian’ yang paling sederhana mulai digunakan pada masa prasejarah, yakni sebelum manusia mengenal tulisan. Dulu memang manusia beradaptasi dengan fisik. Bahan pakaian yang paling awal sulit diketahui. Yang berhasil diidentifikasi, manusia purba Neanderthal di Eropa sudah mengenakan pakaian dari kulit binatang. Di Nusantara yang dikenal sebagai bangsa Austronesia, bahan pakaian mulai dikenal sekitar 4.000 tahun lalu, berupa pakaian kulit kayu. Sampai sekarang pakaian dari kulit kayu masih bertahan di beberapa tempat, seperti di Papua dan Kalimantan Tengah.

Pada masa yang lebih muda, bukti penggunaan kain masa klasik atau Hindu-Buddha terdapat pada arca Harihara dari Candi Simping, Blitar dari masa Majapahit sebagai perwujudan raja Kertarajasa Jayawardhana. Masanya sekitar abad ke-13. Saat ini arca Harihara tersimpan di Museum Nasional.

Pada awalnya manusia membuat kain dari kulit pohon yang ditempa, kemudian dilukis dengan desain berwarna-warni yang disebut sebagai kain kulit kayu. Teknik perekatan untuk menjadi pakaian menggunakan getah pohon.  Pada masa selanjutnya mulai diperkenalkan ragam hias pra-tenun yang dikenal dengan teknik ‘ikat’ yang dibuat dengan cara mengikat benang dengan serat alami. Perkembangan lebih lanjut mulai dibuat kain tenun yang menggunakan alat dan diberi berbagai macam hiasan. Pada tingkat yang lebih kompleks, muncul juga teknik-teknik menambahkan ragam hias pada selembar kain, seperti batik, jumputan, tritik, sulam, bordir, dan aplikasi manik-manik serta payet.

Kain tradisional Nusantara dapat dipandang sebagai warisan tak-benda, yang berkaitan dengan:

  1. Fungsi (upacara keagamaan, upacara siklus kehidupan manusia, strata sosial, identitas, dan praktis untuk kehidupan sehari-hari)
  2. Motif dan warna (makna filosofis)
  3. Teknik pembuatan (pakaian kulit kayu, ikat lungsi, ikat pakan, ikat gabungan, ikat ganda, tenun sederhana, tenun pakan, batik, dan sulam).


Motif megamendung

Salah satu motif batik yang mengandung filosofi adalah megamendung. Mega berarti awan, mendung berarti sejuk. Makna filosofinya adalah manusia harus mampu meredam amarah dalam setiap situasi apapun. Merupakan lambang pemimpin yang harus bisa mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Jadi tidak setiap orang boleh mengenakan motif ini.

harry-02Motif megamendung untuk kalangan pemimpin

Mengingat kain tradisional penuh filosofi dan makna, maka warisan-warisan itu perlu dilestarikan.  Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional dengan corak motif, bahan, dan metode pembuatan tersendiri.

Proses pewarisan wastra Nusantara dari generasi ke generasi terancam dengan adanya arus globalisasi. Para perajin kain tradisional yang memahami makna dan teknik tradisional pembuatan kain semakin berkurang. Ditambah dengan banyaknya pabrik yang dapat memproduksi secara masal kain motif tradisional dengan teknik modern, sehingga mengurangi nilai dan makna kain tradisional tersebut.


Museum

Cara pelestarian warisan budaya, yang berwujud benda adalah disimpan di dalam museum.   Museum merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.

Museum dalam hal ini bukan hanya sebagai tempat yang mengumpulkan, menyimpan, dan memamerkan kain tradisional sebagai objek semata. Ada tiga fungsi utama museum, yakni:

  1. di bidang pendidikan: Museum sebagai sarana pewarisan budaya kain tradisional kepada generasi penerus,
  2. di bidang studi atau riset: Museum melakukan penelitian dan pengkajian terkait kain tradisional Nusantara dalam rangka pelestarian, dan
  3. di bidang kesenangan: Museum melaksanakan program yang menyenangkan, seperti workshop pembuatan kain tradisional.

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 430 museum. Ini menurut data 2016. Dari semuanya, terdapat enam museum khusus bertema kain tradisional Nusantara, yakni Museum Tekstil (Jakarta), Museum Batik Pekalongan, Museum Batik Danar Hadi (Solo), Museum Batik Yogyakarta, Museum Kain (Bali), Museum Tenun Ikat (Ende). Banyak museum umum dan khusus lain juga memiliki koleksi kain tradisional Nusantara.

Pelestarian  adalah  upaya  dinamis  untuk mempertahankan  nilai  dan arti penting, dengan  cara  melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Peraturan mengenai pelestarian tercantum dalam Unesco Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage tahun 2003, yang sudah diratifikasi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda).

Pelindungan oleh museum mencakup aspek fisik dan nonfisik. Sebagai upaya pelindungan fisik, museum melakukan:

  1. Registrasi sebagai koleksi museum (pencatatan data yang lengkap)
  2. Penyimpanan (teknik penyimpanan koleksi, suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya)
  3. Konservasi (teknik dan metode)
  4. Restorasi (teknik dan metode)
  5. Penyajian Koleksi (teknik penyajian, suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya).

Sementara pelindungan nonfisik ditujukan untuk membantu:

  1. Penetapan sebagai warisan budaya tak-benda, seperti songket Palembang, tenun Siak, tapis, tenun ikat Sumba, sulam usus, lurik, dll.
  2. Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual kain
  3. Nominasi untuk menjadi warisan dunia
  4. Pendokumentasian nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kain tradisional

Selanjutnya berupa pengembangan oleh museum. Untuk ini museum melakukan:

  1. Kajian tentang seluk beluk kain tradisional Nusantara (teknologi pembuatan, bahan, pewarnaan, fungsi dan makna kain tradisional)
  2. Revitalisasi kain tradisional untuk menaikkan potensi dan nilai secara maksimal
  3. Nilai-nilai luhurnya diadaptasi secara kontemporer, untuk disesuaikan dengan kemajuan zaman

Upaya terakhir adalah pemanfaatan museum. Ada lima hal pokok yang bisa dilakukan oleh museum, yakni dalam bidang:

  1. Ilmu Pengetahuan, melalui kegiatan pelatihan dan workshop
  2. Pendidikan, melalui pembuatan materi muatan lokal dalam berbagai media
  3. Sejarah, melalui kegiatan diseminasi keterkaitan kain tradisional   dengan peristiwa dan tokoh sejarah
  4. Kebudayaan, menyajikan atraksi budaya dalam berbagai kegiatan pameran dan festival.
  5. Pariwisata, museum sebagai destinasi wisata minat khusus kain tradisional.***

Penulis: Djulianto Susantio
Foto-foto: Dok. Dit. PCBM


Tinggalkan komentar

Kategori