Oleh: museumku | 19 Maret 2010

TESTIMONI: Dilema Holocaust

Oleh Maria Hartiningsih

”Remember only that I was innocent and just like you, mortal on that day, I too, had had face marked by rage, by pity and joy, quite simple, a human face….”

Testimoni Benyamin Fondone itu terbaca di sudut testimoni Museum Holocaust Yad Vashem di Jerusalem. Ia adalah satu dari sekitar enam juta warga Yahudi Eropa, termasuk 1,5 juta anak-anak yang tewas di kamp pembantaian Auschwitz, Jerman, tahun 1944.

Museum yang dibuka tahun 2005 itu semula adalah bangunan untuk memperingati korban pembunuhan masif dan sistematis dari Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler, tahun 1940-1945.

Museum itu berbentuk seperti prisma berstruktur segitiga yang seperti menembus gunung, dengan kedua ujungnya menengadah ke langit terbuka. Luasnya sekitar 45 hektar. Rutenya menurun ke bawah dari jalur pusat. Setiap sisinya seperti ”bab” dalam buku yang mengisahkan secara kronologis peristiwa Holocaust; kekejian yang disebut para ahli sebagai titik balik sejarah bangsa Yahudi dan sejarah kemanusiaan pada umumnya. Holocaust menjadi istilah khusus terkait peristiwa itu.

Sistem pendataan yang canggih merekam sekitar 3,6 juta nama korban. Pusat data juga menyimpan sekitar 125 juta halaman dokumentasi, 370.000 foto, 100.000 lebih video, audio, dan testimoni tertulis, lebih dari 117.000 judul buku dan ribuan jurnal.

Seluruh proses pembantaian direkam dalam penuturan ulang para korban dan survivor, disertai sejumlah besar bukti, seperti sisa sepatu, sisa baju terakhir dipakai, sisa ribuan buku yang dibakar, mainan anak, dan botol susu.

Merayakan hidup

Warga Yahudi di Eropa adalah korban terbesar daripada korban non-Yahudi Eropa yang menjadi target kebencian, seperti etnik Poles (etnik minoritas Ukraina dan Belarusia di Polandia), penganut agama Roma Katolik serta aliran politik yang tak sejalan dengan Nazi, kaum cacat fisik dan mental, kaum homoseksual, dan lain-lain. Jumlah korban diperkirakan lebih dari 11 juta orang.

”Korban dimandikan, diberi pakaian bagus, dijamu sambil mendengarkan musik klasik terbaik, baru dimasukkan ke ruang gas beracun atau digiring ke kursi listrik,” jelas Estee Yaari, pemandu di museum itu.

”Yang lolos tak bisa bertahan karena seluruh akses hidup ditutup,” ia menyambung, ketika kami tiba di depan foto tua orang-orang dengan tubuh berbalut tulang, berselimut baju musim dingin yang lapuk.

Kisah-kisah itu ditulis ulang oleh para survivor, seperti Primo Levi, Elie Wiesel. Ratusan buku tentang penderitaan, kemarahan, pembalasan, tetapi terutama tentang pelupaan, pengampunan, dan keikhlasan. Teori yang terus berkembang tentang memori dan masa lalu banyak didasari peristiwa itu.

Ada beberapa tokoh pencipta landmark di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat yang lolos, seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, Walter Benjamin, dan Herbert Mercuse.

”Museum ini menjadi pendidikan bagi generasi muda dan pengunjung terkait sejarah, isu moral dan dilema Holocaust,” lanjut Estee Yaari, disambung Roley Horowitz, pemandu wisata, ”Tujuannya merayakan kehidupan, bukan kematian, mempromosikan perdamaian, bukan kebencian. Holocaust cukup sekali terjadi. Tidak lagi….”

(Kompas, Jumat, 19 Maret 2010)


Tinggalkan komentar

Kategori